Oleh : Ani Nursalikah, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Tidak ada yang salah memiliki pendapat berbeda dengan orang lain. Bukankah kita adalah manusia yang memiliki kehendak dan pikiran berbeda? Bagaimana mungkin bisa seragam?
Dalam konteks hidup demokrasi, itulah esensinya. Menurut Aristoteles, prinsip demokrasi ialah kebebasan. KBBI memuat pengertian demokrasi juga merujuk pada gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.
Namun, kebebasan seperti apa dulu. Pastinya bukan bebas yang semau kita. Ada norma dan nilai yang membatasi kebebasan kita, yakni norma dalam kehidupan bermasyarakat dan norma agama.
Sayangnya saat ini, kita makin banyak menemukan orang-orang berbuat semaunya. Makin banyak orang berbicara seenaknya. Apalagi di media sosial.
Semua hal yang dulu disaring, kita meluap di media sosial. Orang-orang dengan leluasa dan tanpa malu mengucapkan kata-kata kotor atau menghina individu/kelompok lain. Apa-apa yang dulu disensor di televisi, sekarang bisa dilihat di media sosial. Anda hanya perlu memuat kata kunci yang tepat atau mengakali dengan menyensor kalimat dengan tanda bintang.
Baca juga : Ini Daftar Hinaan dan Pelecehan yang Didapatkan Ustadzah Ponpes Lirboyo
Menghina orang lain jelas melanggar norma kehidupan bermasyarakat dan agama. Rasulullah bersabda, "Telah datang kepadaku Malaikat Jibril dan berkata, 'Hai Muhammad, hiduplah sesuka hatimu, maka sesungguhnya engkau akan mati. Dan cintailah apa yang engkau cintai, sesungguhnya engkau pasti akan berpisah dengan kecintaanmu itu. Dan, beramallah apa yang engkau kehendaki karena sesungguhnya engkau akan mendapatkan balasan. Lalu, ketahuilah bahwa semulia-mulianya orang mukmin ialah orang yang melaksanakan tahajud dan manusia yang terhormat adalah orang yang tidak meminta-minta kepada orang lain'." (HR Baihaqi dari Jabir).
Hadits di atas menunjukkan Islam merupakan agama yang menjunjung kebebasan manusia. Kebebasan yang diajarkan Islam adalah demi kemuliaan manusia itu sendiri.
Menghina orang lain artinya menunjukkan kepada orang lain kualitas diri. Kita tentu bisa menilai seperti apa kualitas orang yang menghina orang lain.
Allah berfirman, "Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan banyak dari kalangan jin dan manusia untuk (masuk neraka) Jahanam (karena kesesatan mereka). Mereka memiliki hati yang tidak mereka pergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan memiliki mata yang tidak mereka pergunakan untuk melihat (ayat-ayat Allah), serta memiliki telinga yang tidak mereka pergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah." (Al A'raf: 179)
Tafsir Tahlili Kementerian Agama menyebut Allah dalam ayat ini menguraikan apa yang tidak terperinci pada ayat-ayat yang lampau tentang hal-hal yang menyebabkan terjerumusnya manusia ke dalam kesesatan. Mereka tidak memahami bahwa tujuan mereka diperintahkan menjauhi kemaksiatan, dan berbuat kebajikan, adalah untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
Baca juga : Ustadzah Ponpes Lirboyo Jadi Korban Penghinaan dan Pelecehan Seksual di Twitter
Bijak bermedsos
Makin masifnya pengguna media sosial, memunculkan fenomena buzzer. Jika ada satu pihak yang mendukung pihak tertentu, tidak sedikit warganet di kolom komentar yang melabeli pihak tersebut sebagai buzzer.
Bisa dibilang buzzer adalah seorang pemengaruh di media sosial. Buzzer sebenarnya salah satu trik marketing agar suatu produk mendapatkan perhatian masyarakat.
Karena banyak jumlahnya, buzzer bisa memainkan suatu isu hingga viral. Caranya dengan mengunggah meme, me-repost, mengunggah pendapatnya, dan beragam konten lainnya.
Tapi, yang membuat prihatin, yang berkembang saat ini seringnya isu yang mereka suarakan menghina atau menjatuhkan orang lain. Di Indonesia, buzzer identik dengan konotasi negatif dan politik. Mereka menjadi massa bayaran di media sosial.
Baca juga : GP Ansor DKI Kecam Eko Kuntadhi Soal Pernyataannya di Medsos ke Penceramah NU
Perang isu yang mereka sampaikan bisa memecah-belah masyarakat. Apalagi, masyarakat Indonesia bisa dibilang belum dewasa dalam bermedsos. Beragam latar belakang pengguna medsos membuat omongan buzzer bisa begitu saja dipercaya warga. Dan, akhirnya membuat kisruh.
Jangan sampai kita terpancing, apalagi sampai menyuarakan sumpah serapah menanggapi omongan buzzer. Isi medsos kita hanya dengan konten positif.
Belum lama, sebuah akun Twitter menghina seorang ustadzah yang sedang menjelaskan mengenai reward yang diterima laki-laki di surga. Ia tampaknya tidak setuju dengan penjelasan sang ustadzah dan memposting kembali video ustadzah tersebut disertai takarir menghina. Dari kalimatnya, jelas si penghina melakukan pelecehan terhadap ustadzah.
Sangat disayangkan, demikian mudahnya seseorang melancarkan cacian. Jika saja, ia memahami hakikat kebebasan yang terbatas nilai dan norma di atas, penghinaan itu tidak akan terlontar. Menjadikan media sosial sebagai ruang ramah bagi semua orang sepertinya masih menjadi mimpi.
Baca juga : Senator DPD: Aparat Harus Tindak Tegas Pelaku Pelecehan 'Ning' Pesantren Lirboyo