Sabtu 17 Sep 2022 08:14 WIB

Rektor IPB University Telah Krisis Iklim dan Dampaknya bagi Indonesia

Indonesia perlu menyusun rencana aksi adaptasi perubahan iklim yang jelas.

Rektor IPB University Prof Arif Satria.
Foto: Dok IPB University
Rektor IPB University Prof Arif Satria.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Krisis iklim memiliki pengaruh besar dalam penyediaan pangan di Indonesia, mulai dari sektor pertanian, perikanan dan peternakan. Prof Arif Satria, rektor IPB University melalui wawancara oleh CNBC Indonesia, Sabtu  (10/9/2022) menjelaskan upaya yang dapat dilakukan dalam menghadapi krisis iklim. 

“Pada level nasional yang perlu kita lakukan adalah menyusun rencana aksi adaptasi yang jelas. Seperti perubahan kebijakan untuk mempercepat transisi energi pada level industri, hingga perubahan gaya hidup yang lebih green dan ramah lingkungan,” ujarnya seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Jumat (16/9/2022). 

Ia mengungkapkan perlunya kolaborasi setiap elemen bangsa dalam melakukan aksi nyata untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Indonesia juga perlu memperjuangkan keadilan (climate justice), sehingga negara maju tidak hanya menekan negara berkembang untuk menangani krisis iklim.

“Sebab negara maju juga punya kontribusi yang besar melalui proses industrialisasi yang mereka kembangkan di berbagai tempat yang juga memiliki sumbangan dalam kontribusi peningkatan emisi,” imbuhnya.

Hal yang perlu diperhatikan, sebutnya, dampak negatif krisis iklim ini lebih dirasakan oleh masyarakat  golongan ekonomi bawah. “Misalkan saja ketika terjadi banjir, orang-orang kaya bisa ke hotel. Sementara orang-orang dengan lapisan ekonomi bawah tidak bisa ke mana-mana,” ujarnya.

Menurut analisis Prof Arif terkait kinerja pemerintah dalam menanggulangi krisis iklim ini menyampaikan bahwa, “Pemerintah sudah berusaha dengan adanya G20 dan B20 seperti transisi energi yang juga sudah mulai dikembangkan. Ini adalah hal yang positif. Namun memang transisi ini tidak mudah karena ketika kita berbicara B30, bahkan jika kita menargetkan B100, maka akan terjadi konflik yaitu fuel dan food.” 

Ia mencontohkan, sawit apabila diarahkan menjadi energi, maka suplai minyak goreng menjadi bermasalah. Karena itu harus ada kebijakan untuk menghasilkan titik optimum dengan mencari sumber-sumber energi baru lainnya sebagai alternatif, seperti matahari. “Matahari merupakan energi yang selalu memberi tak harap kembali,” ujarnya.

Kesimpulannya, kata Prof Arif, dampak perubahan iklim akan sangat besar seperti kekeringan, anomali curah hujan, banjir rob dan gagal panen. Langkah pemerintah dengan membangun pusat-pusat lapang informasi cuaca sudah dapat dilihat sehingga petani dapat memepertimbangkan kapan menanam tidak,” ucap Prof Arif. 

Adapun langkah antisipasi lainnya, lanjut dia, seperti asuransi untuk pertanian, karena sektor pertanian juga akan terancam dengan gagal panen yang berimbas terhadap minimnya minat petani untuk menanam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement