Selasa 20 Sep 2022 06:14 WIB

Mengendus Ideologi Pembangkang Sipil Elektronik Bjorka

Ada beberapa kemungkinan motif di balik konten yang disuarakan Bjorka.

Makroen Sanjaya, Pengajar Komunikasi Digital dan Media Baru Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Foto: dok pri
Makroen Sanjaya, Pengajar Komunikasi Digital dan Media Baru Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Oleh: Dr Makroen Sanjaya M.Sos | Pengajar Komunikasi Digital & Media Baru Universitas Muhammadiyah Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, Sudah dua pekan terakhir Indonesia digegerkan aksi seorang hektivisme (hacktivism) dengan identitas anonim sebagai Bjorka. Hektivisme adalah frasa untuk menggambarkan konvergensi peretasan (hacking) dengan aktivisme.

Dorothy E Denning dalam Activism, Hacktivism and Cyberterrorism (2001) mengategorikan hektivisme sebagai bentuk pembangkangan sipil secara elektronik. Dengan kata lain, hektivisme adalah metode pembangkangan sipil yang diimportasi ke dunia maya.

Menurut Dictionary of Computer and Internet Terms (2009), hack adalah aksi membobol atau merusak sistem komputer. Mengacu definisi ini, dengan aksinya meretas puluhan megabyte data, apa yang dilakukan Bjorka, sudah masuk dalam kategori sebagai peretas. Apabila Bjorka adalah seorang aktivis (politik) yang bergerak di dunia maya, tindakannya termasuk sahih sebagai aksi pembangkangan sipil secara elektronik.

Media massa memberitakan, hingga 10 September 2022, Bjorka telah mengunggah data tak kurang dari 679.180 dokumen yang ukurannya mencapai 40 megabyte. Data berupa 1,3 miliar register kartu selular, 150 juta daftar pemilih di KPU, dan 26 juta pengguna Indihome, diunggah di situs Breached Forums yang aktif sejak Agustus 2022. Sebelumnya akun Bjorka juga aktif di Forum Hacker RaidForums. Tapi kemudian situs berbagi informasi pembobolan, peretasan dan jual beli data pribadi di Internet itu, sudah ditutup sejak April 2022, dan para pelakunya dicokok oleh Pusat Kepolisian Siber Eropa (EC3).

Dalam aksinya, Bjorka mengumbar data retasan sebesar 40 megabyte. Jika dicetak dalam bentuk hard file, boleh jadi data itu setara dengan muatan beberapa kapal laut pengangkut kontener. Sebagai perbandingan, Jhonson & Gluck dalam Everydata (2016) mengilustrasikan bahwa setiap orang warga Amerika Serikat mengonsumsi data 34 gigabyte per hari saja, jika data itu dicetak dengan kertas dapat diangkut dengan belasan truk pickup.

Pertanyaannya kini, siapakah sejatinya si pembuat onar di ranah digital bernama Bjorka? Apa ideologi, sekaligus motifnya? Mengapa pembangkang sipil elektronik itu beraksi, di saat situasi politik Indonesia mulai menghangat menjelang Pemilu Akbar 2024?

Siapa Bjorka?

Merujuk makna sebagaimana dilansir Denning (2001), pembangkangan sipil elektronik (electronic civil disobedience) para hektivisme adalah segala jenis pembangkangan sipil, di mana aktivis politik menggunakan segala bentuk teknologi informasi dan Internet untuk melakukan protes (IT Dictionary for Computer Terms and Tech Definitions on Techopedia). Jalan yang ditempuh adalah  pembobolan, peretasan, pencurian, dan pengumbaran data ke ruang publik digital. Artinya, tindakan pembangkangan sipil elektronik, dilakukan oleh orang atau kelompok orang yang bisa jadi marah terhadap situasi tertentu. Jelasnya, seorang hektivisme memiliki motif yang kuat, dan bukan sekedar pekerjaan orang iseng.

 

Dalam beberapa unggahannya di media sosial, akun sinonim Bjorka mengaku tinggal di Polandia. Bjorka mendeklarasikan diri sebagai orang yang sakit hati, sekaligus bersimpati dengan saudara-saudaranya di Indonesia atas kebijakan yang dinilainya tidak adil. Dalam unggahan oleh akun Helis Herlambang di Tiktok yang singgah di lini masa penulis Sabtu, 17 September 2022 pukul 10.09 wib, Bjorka melansir narasi dengan teknik sulih suara (dubbing) secara elektronik dalam bahasa Inggris secara provokatif.

Pada bagian awal Bjorka berujar: “Hallo Indonesia. We are an anonymous. The time has come to protecting the Indonesian peoples. A brothers and sisters, and our homelands. The time has come for us to speak out for our right, justice, freedom of speech. Bjorka is neither a name, nor a person. Bjorka is the name of hacking movement, or cyber attack…

Bjorka mengakui bahwa dia (mereka) bukan mengacu kepada figur seseorang, melainkan suatu gerakan atau aksi (movement), sekaligus pelaku serangan siber (cyber attack). Sangat boleh jadi, deklarasi jati diri ini hanya sebuah desepsi semata, dan bisa dilakukan di mana saja. Yang jelas, MA, seorang pemuda asal Madiun, yang ditangkap Unit Cybercrime Polri, mengakui perannya dalam membantu Bjorka. Kepada polisi, MA mengaku menjual akun channel yang dibeli Bjorka seharga 100 dolar AS, dibayar melalui e-wallet berupa bitcoin.

Teroris Digital Penikmat Kekacauan

Penulis tersohor Hacker’s Handbook, Paul Day dalam Cyber Attack (2014) menulis, di era digital modern, bentuk baru serangan siber (cyber attack), Anonymous merupakan  pengganda kekuatan bagi para peretas di berbagai tempat. Model serangan siber mereka terdistribusi, dan akan dicatat oleh musuh, dan sekutu.

Apabila Bjorka terus saja berkeliaran di dunia maya, yang oleh David Holmes (2012) disebut memiliki karakter “pembentuk warga negara universal” yaitu netizen, maka Bjorka akan terus menjadi misteri, dan selalu “menebar pesona” negatif bagi penguasa.

Paul Day mengingatkan, tidak ada yang tahu sosok Anonymous. Tidak ada yang tahu pula identitas kelompok bayangan hektivisnya. Ada orang yang menyebut orang yang berkedok topeng itu sebagai "teroris digital.” Ada pula yang menyebutnya sebagai "peretas steroid."

Dalam catatan Paul Day, para hektivis ini pada tahun 2006 pernah mengorganisir flash mob digital untuk menyerang situs web seperti "Habbo" atau “Second Life,” dan menikmati kekacauan yang mereka ciptakan. Secara urakan mereka mengumbar ujaran-ujaran yang menggambarkan kondisi sadisme. Misalnya, mereka menyatakan “Hundreds die in plane crash. We laugh. The nation mourns over school shootings, we laugh.”

Para hektivis diumpamakan sebagai "masyarakat fraktal digital." Artinya, anggotanya seperti fenomena gunung es, ketika ditemukan satu anggota, maka sejatinya terdapat anggota lain yang tidak terhitung jumlahnya. Para hektivis tidak memiliki pemimpin. Mereka menggunakan sistem struktur sel, dan memutus mata-rantai jika terendus.

Ideologi Bjorka

Menurut Paul Day lagi, Anonymous bukanlah sebuah grup. Anonymous adalah ide—sebentuk virus digital yang memengaruhi semua orang. Dalam perang siber digital baru, ide lebih penting daripada kode atau data komputer. Perang digital baru akan diperjuangkan dengan ide, menggunakan Internet sebagai senjata utama.

Sebagaimana yang dieksplikasi oleh Eagleton (1991), ideologi adalah (a). Kumpulan ide yang menjadi ciri kelompok atau kelas sosial tertentu; (b). Ide membantu melegitimasi kekuatan politik yang dominan; (c). Ide-ide palsu yang membantu melegitimasi kekuatan politik yang dominan; dan (d). Komunikasi yang terdistorsi secara sistematis.

Dengan demikian, benar adanya jika Paul Day menyatakan bahwa perang siber, yang merupakan bentuk perang baru digital, sejatinya menggunakan “peluru baru,” yaitu ide atau kumpulan ide atau keyakinan yang dianggap benar (ideologi), dengan komputer sebagai senjata. Dengan demikian, Bjorka,  yang adalah suatu ideologi tertentu, kini menantang otoritas Indonesia secara nyata.

Bjorka kemungkinan adalah suatu ideologi bersaing, yang mencoba melawan hegemoni ideologi penguasa, pemilik ideologi status-quo. Pertanyaannya kemudian, sampai kapan Bjorka dibiarkan terus “menyanyi” di dunia maya, dan terus mempermalukan organisasi raksasa yang memiliki segala sumber daya bernama Indonesia?

Seorang kolega jurnalis yang intens menggeluti dunia siber, secara kritis mempertanyakan kapasitas para petinggi yang kini memimpin kementerian/lembaga terkait dunia siber digital. Kolega ini juga pesimistis dengan kemampuan otoritas mengungkap sosok Bjorka ini. “Saya sejak awal ragu dengan kapasitas mereka. Harus diaudit secara menyeluruh, baik sistem maupun personalianya,” demikian kolega itu dalam percakapan dengan penulis pada hari Jumat, 16 September 2022.

Mencermati konten yang diunggah dan disuarakan Bjorka, ada beberapa kemungkinan motif di baliknya. Pertama, motif ekonomi, yaitu sang Anonymous ini menjual data yang diretasnya kepada pihak tertentu, sebagaimana yang dilakukan para anggota situs web RaidForums. Kolega jurnalis tadi mensinyalir Bjorka sejatinya adalah calo (broker) saja. Jika benar asumsi ini, maka Bjorka adalah sosok petualang ekonomi yang egois, selfis yang berideologi liberalis-kapitalis.

Tetapi penulis lebih percaya dengan asumsi kedua, yaitu motif politik. Jika demikian, Bjorka dapat diidentifikasi sebagai kelompok “barisan sakit hati” terhadap rezim penguasa, atau pihak yang sepaham. Dalam beberapa tahun ini, katakanlah, kelompok yang diidentifikasi sebagai radikal atau pengusung paham khilafah di Indonesia, telah dipecundangi.

Jangan remehkan kemampuan siber kelompok-kelompok yang distigma sebagai kelompok konservatif. Bercermin dari praktik perang siber oleh aktivis Islam konservatif di Pakistan dan India dalam konflik Palestina dan pascaperistiwa 911, para hektivis mampu menujukkan eksistensinya. Para hektivis Islam, terbukti sukses mengobrak-abrik jantung pertahanan siber negara adidaya sekalipun.

Sebagaimana diungkap Gary R Bunt dalam Islam in the Digital Age (2003) pada bab Hacktivism, Hacking and Cracking in the Name of Islam, kelompok jihadis-elektronik (e-jihad) yang tergabung dalam “Pro-Palestine” berhasil menembus situs yang terkait dengan Israel. Korban hacker dan cracker kelompok e-jihad itu, termasuk di antaranya adalah situs Pasukan Pertahanan Israel, situs pemerintah Israel, The Jerusalem Post, perusahaan teknologi, dan institusi akademi di negeri Zionis Israel.

Di luar kelompok radikal, boleh jadi Bjorka adalah representasi kaum oposisi, bukan sekadar kelompok iseng, yang sedang menciptakan momentum. Situasi politik Tanah Air saat ini sedang “suam-suam kuku.” Pertarungan politik menuju Istana dan Senayan, bakal banyak mempergelarkan dramartugik politik. Jika tidak, boleh jadi pula Bjorka adalah “boneka” kelompok yang di masa lalu kalah dalam pertarungan politik nasional, dan sampai sekarang tidak pernah mendapat tempat lagi di panggung politik nasional.

Cermati saja, salah satu unggahannya yang menyebutkan geografi Kota Warsawa, ibu kota Polandia, sebagai home-based. Meskipun pengakuan ini tidak bisa serta merta dapat dipercaya alias hanya desepsi belaka, tetapi Warsawa boleh jadi merupakan salah satu petunjuk (clue) yang tidak seharusnya diabaikan.

Akan halnya sebagai Anonymous, sosok Bjorka terus saja menjadi misteri. Siapa pun, dibuat bingung oleh manusia bertopeng ini. Semoga saja, Bjorka segera dapat ditangani, dan netizen kembali dapat menikmati hiburan oleh orang-orang berparas rupawan yang mondar-mandir di lini masa TikTok atau Reels Video Instagram, seperti sedia kala.

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement