Oleh : Dr. dr. Rohadi Sp.BS (K) (Mahasiswa`Pasca`Sarjana Hukum Kesehatan FH Univ. Hang Tuah Surabaya, Ketua IDI Wilayah NTB)
REPUBLIKA.CO.ID, Pada 14 September 2022, ARSSI (Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia) melayangkan surat kepada Menteri Kesehatan. Isi pokok surat tersebut tentang permintaan kenaikan tarif INA CBGs, berdasarkan peraturan menteri Kesehatan no. 52 tahun 2016 tentang standar tarif pelayanan kesehatan dalam program jaminan Kesehatan (JKN) yang masih berlaku sampai saat ini mengingat lebih dari enam tahun belum dilakukan kenaikan.
Di sisi lain, biaya pelayanan Kesehatan dan beban operasional rumah sakit setiap tahun mengalami kenaikan sehingga ARSSI melalui suratnya mendesak Kementerian Kesehatan RI untuk menaikkan tarif INA CBGs sebesar 30 % seiring dengan kenaikan harga barang, BBM, UMR yang meningkat serta kenaikan PPn. Tarif yang sekarang membuat resah kalangan pengelola rumah sakit, pemda dan tenaga kesehatan yang berimbas dengan pelayanan yang berbasis pasien safety dan kesejahteraan tenaga Kesehatan yang saat ini belum optimal dan berkeadilan.
Semenjak penerapan program JKN di Indonesia, ditemukan masih banyak permasalahan seperti masalah revenue collection, pooling, kontrol mutu pelayanan kesehatan dan lain-lain. Dalam sebuah seminar tentang JKN, narasumber DSJN, BPJS dan ahli dalam JKN mendiskusikan terjadinya tumpang tindih regulasi yaitu UU No.40 tahun 2004 tentang SJSN dan UU No.24 tahun 2011 tentang BPJS yang multi interpretasi sehingga dianggap menjadi penyebab masalah-masalah tersebut.
Perwakilan DJSN memaparkan bahwa JKN terlahir dari jaminan sosial yang tujuannya adalah mendudukkan hubungan konstitusional antara negara dengan warga negara. Sampai saat ini, Perpres No.12 tahun 2013 tentang jaminan kesehatan sudah tiga kali direvisi. Hal ini menunjukkan adanya dinamika yang mengakomodasi berbagai situasi yang ada. Perpres adalah hasil produk hukum dari stakeholders yang utamanya adalah publik.
Kebutuhan untuk revisi UU SJSN dan UU BPJS sangat besar terutama dalam peningkatan peran pemerintah dan publik. Narasumber BPJS Kesehatan mengungkapkan bahwa BPJS sebagai pelaksana UU SJSN telah menjalankan implementasi UU sesuai Pancasila sila kedua dan kelima. Pemanfaatan BPJS telah dirasakan oleh peserta yang membutuhkan dimana saat ini jumlah peserta ada di atas 183 juta orang.
Saat ini yang diperlukan adalah adanya gerakan untuk memacu kepatuhan peserta agar BPJS tetap konsisten dan dapat mencapai target yaitu financial sustainability, customer satisfaction serta tercapainya Universal Health Coverage (UHC). Berdasarkan hasil riset ahli di lapangan, faktanya telah terjadi overlapping regulasi.
UU yag ada sudah sesuai tetapi pengaturan operasionalnya yang masih tumpang tindih seperti pada regulasi mengenai FKTP pemerintah (puskesmas) dan swasta. Banyak inkonsistensi regulasi terutama dalam hal kewenangan dan adanya kekosongan hukum tentang konsep stakeholders. Perlunya perubahan UU SJSN dan BPJS, bahwa di dalam UU harus tegas mengenai penjelasan peran tiap stakeholders (misalnya, Kemenkes sebagai regulator). Sehingga titik beratnya adalah pentingnya kejelasan peran dan wewenang dari stakeholders dalam program JKN dan konsistensi UU dan produk hukum turunannya.
Perlu ada sinkronisasi dengan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. UU SJSN dan UU BPJS perlu mengatur pelayanan kesehatan bagi anak berkebutuhan khusus dan penyandang disabilitas. Mencegah terjadinya benturan pelayanan dengan pelayanan kesehatan penyakit akibat kerja (PAK). Perlu juga menjelaskan mengenai kelas standar dalam pelayanan rawat inap sebagaimana tercantum di pasal 23 ayat (4) UU SJSN.
Kelemahan UU SJSN dan UU BPJS yang perlu dibenahi adalah harmonisasi materi muatan UU SJSN dan UU BPJS dengan asas-asas pembentukan dan materi peraturan perundang-undangan, termasuk penguatan sanksi. Memperjelas dan memperkuat sanksi terhadap ketidakpatuhan atas pemenuhan kewajiban yang ditentukan dalam UU BPJS.
Penyesuaian paket manfaat yang diberikan kepada peserta. Manfaat pelayanan yang diberikan kepada peserta selama ini tergolong luas. Sebagaimana pasal 22 ayat (1) UU SJSN, manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan kesehatan yang mencakup promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan.
Kondisi keuangan BPJS Kesehatan yang kadang dilaporkan fluktuasi tapi penyesuaian manfaat tidak berjalan. Penetapan manfaat, termasuk obat, belum disesuaikan dengan kemampuan BPJS Kesehatan. Untuk menjalankan program JKN-KIS butuh regulasi yang memberi kepastian peran dan fungsi BPJS kesehatan dalam penyesuaian manfaat. Paling penting, BPJS Kesehatan membutuhkan regulasi yang membenahi besaran iuran agar bisa ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai perkembangan sosial, ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
UU BPJS perlu mengatur ketentuan tentang kewenangan BPJS Kesehatan untuk menyesuaikan paket manfaat program JKN-KIS dengan mempertimbangkan kebutuhan medis dan kemampuan keuangan BPJS Kesehatan. Selain itu perlu mengubah Pasal 11 huruf d UU BPJS agar BPJS Kesehatan berwenang untuk membuat kesepakatan dengan asosiasi faskes mengenai besaran pembayaran pelayanan untuk faskes. Pasal 11 dimaksud memuat delapan kewenangan BPJS. BPJS berwenang ‘membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh pemerintah. Bahkan pada huruf e Pasal yang sama disebutkan bahwa BPJS berwenang membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan.
Pada Rapat dengar pendapat Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dengan komisi IX DPR RI pada senin tgl 04/7/2022 memastikan penyesuaian tarif kapitasi dan INA-CBG's dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berbasis kebutuhan dasar kesehatan (KDK) dan kelas rawat inap standar (KRIS) akan mempertimbangkan kecukupan dana jaminan sosial BPJS Kesehatan. Penerapan KDK-KRIS membutuhkan perubahan besaran pada sistem kapitasi dan INA-CBG's untuk menjaga kualitas manfaat dan pemerataan layanan.
Untuk penyesuaian besaran kapitasi di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) akan disesuaikan berdasarkan harga terkini, menjamin keadilan berdasarkan risiko peserta dan kondisi geografis, dan pembayaran berbasis kinerja untuk mendorong peningkatan upaya cakupan promotif-preventif. Menkes mendorong agar kapitasi ini ke depannya lebih berbasis kinerja.
Adapun, tarif kapitasi adalah besaran pembayaran per bulan yang dibayar dimuka oleh BPJS Kesehatan kepada FKTP berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. Sementara itu, penyesuaian tarif INA-CBGs di rumah sakit akan dilakukan berdasarkan standar KDK-KRIS yang baru. Selain karena adanya konsep baru, penyesuaian ini juga karena tarif INA-CBGs sudah lama tidak ditinjau ulang. Menkes juga mengatakan, perbaikan tarif INA-CBGs berdasarkan kelompok perbedaan diagnosa dan tingkat keparahan, serta berdasarkan jenis-jenis kategori tertentu, seperti regionalisasi dan kelas rumah sakit.
Tarif INA-CBGs adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan atas paket layanan yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur. Dia berharap penyesuaian kapitasi dan tarif INA-CBGs akan memberikan dampak positif karena bagi peserta akan mendapat akses lebih baik, lebih adil, dan mendapatkan intervensi lebih dini. Dari sisi penyedia layanan kesehatan, dengan adanya kajian tarif INA-CBGs juga diharapkan bisa mengakomodir tingkat inflasi yang sudah terjadi sejak penentuan tarif INA-CBGs yang belum diubah sejak 2016.
Dari sisi program asuransi kesehatan nasional secara keseluruhan, menkes mengatakan akan tetap melakukan perhitungan agar adanya tambahan-tambahan beban baru ini tidak mengganggu keberlanjutan dari pembiayaan BPJS Kesehatan. Sehingga jangan sampai menciptakan kewajiban yang sangat besar sehingga tidak bisa dipenuhi kewajibannya oleh BPJS. Informasi yang beredar kementerian Kesehatan telah melakukan permodelan dengan aktuaris bahwa kondisi arus kas maupun kondisi cadangan kumulatif BPJS kesehatan akan tetap aman dan bahkan meningkat penyesuaian tarif kapitasi dan INA-CBGs, dengan adanya kenaikan tarif tersebut cash flow BPJS Kesehatan dan kumulatif reserve atau cadangannya naik terus. Dan memang BPJS ini bukan didesain sebagai profit organization, tapi sebagai organisasi yang melayani sehingga di mata kemenkes sebagai regulator memang idealnya pas atau cukup.
Dalam rapat dengar pendapat tersebut, menkes juga mengatakan dilakukannya Penyusunan revisi Permenkes No. 52 Tahun 2016 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan pada pekan ke-3 Juli. Untuk kapitasi dan INA-CBG's kecuali yang berkaitan dengan KRIS harusnya sudah bisa kami jalankan segera. Khusus KRIS begitu sudah ada kesepakatan antara BPJS dan DJSN mengenai definisi KRIS sendiri, kemenkes akan segera lakukan persiapan untuk fasilitas kesehatan-fasilitas kesehatan yang terpengaruh.
Sementara itu, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti berharap agar penyesuaian tarif INA-CBG's dan kapitasi dalam rangka implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berbasis kebutuhan dasar kesehatan (KDK) dan kelas rawat inap standar (KRIS), tetap dapat menjaga kesehatan dana jaminan sosial kesehatan.
Menurutnya, perubahan tarif INA-CBG's dan kapitasi merupakan hal yang bagus. Namun, tentunya perubahan tarif tersebut harus mempertimbangkan agar dana jaminan sosial kesehatan yang dikelola BPJS Kesehatan tak mengalami defisit. Untuk bisa mempertimbangkan agar BPJS Kesehatan tidak defisit. Semoga apa yang kita iningkan bersama seluruh unsur dalam pelayanan Kesehatan segera tercapai yaitu terjadinya kenaikan yang signifakan dalam tarif INA CBGs sehingga bisa berimbas terhadap pelayanan yang lebih baik dan kesejah teraan tenaga Kesehatan semakin baik.