REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Teknologi Produk Polimer Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI) Mochamad Chalid mengatakan, pada prinsipnya produk plastik tidak berbahaya jika penggunaannya tepat. "Oleh karenanya, perlu untuk mengenal produk-produk plastik yang kita gunakan. Jadi, yang perlu kita lihat adalah bagaimana kita memperlakukan produk plastik itu," ujar Chalid, di Jakarta, Senin (26/9/2022).
Dia menambahkan, BPOM sebagai lembaga pengawas pangan di Indonesia bisa melakukan pendekatan ke konsumen dengan cara memberikan edukasi. Misalnya, untuk konsumen pengguna galon guna ulang yang berbahan BPA, BPOM perlu mengedukasi masyarakat bagaimana memperlakukannya agar tidak berbahaya bagi kesehatan.
Begitu juga dengan konsumen yang menggunakan galon sekali pakai dan produk-produk pangan plastik lainnya. Terkait dengan adanya isu bahan BPA yang disebut berbahaya bagi kesehatan, dia mengatakan hal itu masih menjadi perdebatan.
Di Amerika Serikat dan Eropa saja, lanjut dia, mereka relatif punya perspektif yang berbeda dalam penetapan batas ambang asupannya. Di Amerika, dengan adanya Food and Drug Administration (FDA), mereka memberikan batasan 5 mikrogram per kilogram berat badan dalam sehari. Sementara, Eropa lebih ketat.
"Jadi, sebenarnya kalau itu bisa dijaga dengan ambang batas demikian, relatif kemasan ini tidak mempunyai masalah besar. Nah, sekarang masalahnya adalah bagaimana produsen telah memenuhi syarat untuk itu," ujarnya.
Di Eropa, tidak ditemukan air minum dalam kemasan (AMDK) galon, karena biasa minum dari air keran. Tapi di Indonesia, menyediakan air minum langsung dari keran itu sangat sulit, karena perlu perawatan yang tinggi, sebab beda iklim dengan Eropa.
"Kalau di sana kan iklim sub tropis, kalau di sini panas dan ada macam-macam bakterinya," paparnya.
Jadi, kata Chalid, kalau bicara tentang semua produk itu ada beberapa kelebihan dan kekurangannya, apakah itu AMDK galon guna ulang maupun galon sekali pakai. "Yang penting itu adalah masyarakat sadar bagaimana cara penggunaannya, sudah ber-SNI atau belum, dan seterusnya," ucapnya.
Dia juga menyarankan perlu pelabelan terkait potensi bahayanya. Begitu juga dengan edukasi yang dilakukan harus dilakukan dalam berbagai perspektif.
Selain itu, produsen, konsumen, regulator, dan lembaga penelitian bisa duduk sama-sama untuk membicarakan apa yang harus dilakukan terhadap produk pangan plastik.
"Solusinya bukan hanya basis teknologi saja, bisa berkaitan dengan bagaimana mengubah perilaku masyarakat. Jika masyarakat sudah mendapatkan edukasi dengan baik, akan menjadi bagian dari kontrol atau kendali terhadap produk pangan tersebut," kata dia.