Rabu 28 Sep 2022 09:27 WIB

Kekerasan di Lembaga Pendidikan, Awal Hancurnya Suatu Negara

Kekerasan akan mempengaruhi perkembangan pola pikir, perilaku dari korban

Tim ahli forensik melakukan autopsi secara menyeluruh terhadap jenazah AM (17), santri Pondok Modern Darussalam Gontor 1 Pusat, Ponorogo, Jawa Timur, Kamis (8/9/2022)
Foto: ANTARA/M Riezko Bima Elko P/22
Tim ahli forensik melakukan autopsi secara menyeluruh terhadap jenazah AM (17), santri Pondok Modern Darussalam Gontor 1 Pusat, Ponorogo, Jawa Timur, Kamis (8/9/2022)

Oleh : Thathit Manon Andini, Dosen Universitas Muhammadiyah Malang

REPUBLIKA.CO.ID, Beberapa kekerasan di lembaga pendidikan yang terjadi di berbagai  daerah belakangan ini memprihatinkan banyak pihak. Lembaga Pendidikan yang seharusnya mencetak agen-agen perubahan menuju kebaikan, justru menjadi tempat lahirnya kejadian-kejadian yang menyimpang dari tujuan utamanya, yaitu mendidik menjadi manusia cerdas, baik dan berakhlak mulia.

Kekerasan di Jakarta, Magelang, di UNRI Riau, di SPI Batu Malang hingga di Pondok Modern Gontor Ponorogo, menyisakan penderitaan secara fisik maupun psikologis bagi korban maupun keluarga.  Korban menjadi  cacat, depresi dan bahkan ada yang sampai meninggal dunia. 

 

Ditinjau dari jenisnya, kekerasan ada empat macam, yaitu kekerasan verbal, kekerasan emosional, kekerasan fisik dan kekerasan seksual. 

Yang pertama, kekerasan verbal adalah bentuk penyiksaan pada seseorang melalui kata-kata. Kekerasan ini nampaknya  jarang diperbincangkan  akan tetapi ini akan membawa dampak yang serius kepada korban. Misal kata-kata ‘Nggak becus banget kamu itu’. Kata-kata tersebut masuk kategori kekerasan verbal yang akan membawa dampak yang serius kala  korban merasa tidak nyaman dan bahkan  terpukul ketika mendengar kata-kata tersebut. Korban akan merasa kurang percaya pada diri sendiri, kurang semangat dan bahkan bisa depresi.

Kedua, kekerasan emosional yang bisa disebut juga sebagai  kekerasan psikis atau kekerasan mental. Kekerasan ini  mengarah pada serangan terhadap mental/psikis seseorang, bisa berbentuk ucapan yang menyakitkan, berkata dengan nada yang tinggi, penghinaan dan ancaman. Misal, hukuman pada anak dengan cara tidak memberi uang saku. Dengan tidak diberinya uang saku, si anak akan merasa sedih, kawatir dan cemas. Dampak kekerasan tersebut juga tidak ringan pada kala anak-anak itu akhirnya sampai mengambil barang atau mencuri karena dia ingin memiliki barang tersebut atau sekedar ingin beli makanan dan minuman karena dia lapar dan haus. 

Ketiga, kekerasan fisik. Kekerasan fisik Adalah kekerasan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Kekerasan ini juga tidak kalah berbahaya dampaknya pada si korban. Kekerasan ini akan mengakibatkan cacat fisik yang akan disandang seumur hidupnya karena dia akan tidak bisa melakukan kegiatan seperti halnya orang normal lakukan.

Keempat, kekerasan seksual. Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang. Kekerasan ini akan mempunyai dampak yang luar biasa pada si korban baik laki-laki maupun perempuan.

Dampak kekerasan pada anak perempuan, pada umumnya korban akan menjadi perokok, pemabuk, pengguna narkoba, menyakiti diri sendiri bahkan bunuh diri. Dampak untuk koban laki-laki kebanyakan korban perokok, pemabuk dan perilaku destruktif yang lainnya. Bisa dibayangkan kalau generasi ini dalam kondisi berdampak seperti itu. Dengan dampak seperti itu, jelas akan berpengaruh pada perkembangan pola pikir, perilaku dari korban sebagai generasi penerus bangsa.

Pelaku dan korban bisa siapa saja dan di mana saja. Maka bila ada kekerasan dalam bentuk apapun, perlu dikaji secara utuh. Karena pelaku bisa juga karena di masa lampau dia jadi korban. Dia sering melakukan kekerasan verbal, ada kemungkinan dia juga sering mendapatkan perlakuan seperti itu. Misal sering mendapat perkataan kurang  baik dari orang tua, saudara atau teman-temannya.

Kekerasan emosional, bisa juga karena si korban sering mendapatkan perilaku yang tidak mengenakkan seperti itu. Dia juga akan puas kalau dia mengatakan hal-hal yang kurang baik pada orang lain. Dia bahkan  tidak menyadari kalau kata-kata itu tidak nyaman bagi orang lain. Pelaku kekerasan fisik, dia juga kemungkinan besar di masa lalunya juga medapatkan perlakuan kekerasan fisik dari orang-orang terdekatnya. Hal ini memungkin dia juga akan melakukan kekerasan dalam rumah tangganya karena di masa lalu dia selalu melihat Bapaknya memperlakukan Ibunya juga seperti itu. 

Mengenai pelaku, bisa siapa saja, orang berpendidikan dan juga orang yang non pendidikan. Bisa juga orang kaya dan juga orang yang kurang mampu. Bisa juga anak muda yang juga orang dewasa atau bahkan tua. Mulai yang tidak bergelar sampai ke yang bergelar tinggi. Baik yang tidak berpengetahuan agama maupun yang berpengetahuan tinggi. Semuanya memungkinkan menjadi pelaku maupun korban dari semua jenis kekerasan tersebut.

Tempat kekerasan bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Bisa di tempat umum dan atau di tempat yang privasi, tempat yang elit dan bersih, tapi bisa juga terjadi di tempat yang kumuh.

Generasi Muda adalah tiang negara. Menyitir kata-kata Bung Karno ”Beri aku 1000 orang tua,  niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, dan beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia” (Ervanus Ridwan-Media Indonesia 28 Okt 2020). Dari ungkapan ini betapa pentingnya generasi muda untuk kelangsungan suatu negara.

Oleh karena itu edukasi besar-besaran dan serius mutlak diperlukan. Bersama berbagai kalangan dan institusi berjalan bersama-sama untuk mengantisipasi atau mencegah segala bentuk kekerasan tersebut.

Dari sisi pendidikan, ada empat hal yang harus dipersiapkan, yaitu: (1) Kurikulum yang baik dan sesuai. Kurikulum merupakan cara yang paling strategis untuk mengantarkan suatu alur Pendidikan. Dengan kurikulum yang bagus, maka alur pendidikan juga akan berjalan bagus dan sesuai harapan. Dan tentunya jika kurikulum tersebut diterapkan dengan baik, (2) Pola pengasuhan yang baik sejak kecil. Pola pengasuhan yang baik dan benar harus selalu didengungkan di mana-mana, kapanpun, di manapun dan kepada siapa pun. Jika ada di masa lalunya korban, maka akan putus rantai tersebut, dia tidak akan menjadi pelaku, (3) Pengawasan. Dalam kegiatan apapun, pengawasan selalu ditekankan untuk kontrol suatu program, (4) Keterbukaan. Keterbukaan selalu dikedepankan dan diajarkan karena segala bentuk kekerasan tersebut kemungkinan juga terjadi karena kurangnya keterbukaan ketika korban mendapatkan bentuk kekerasan-kekerasan tersebut. Mari hapuskan segala bentuk kekerasan demi kelangsungan negeri tercinta ini.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement