Oleh : Ir Euis Komariah, MT (ASN Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Barat)
REPUBLIKA.CO.ID, Maraknya pernikahan dini yang dialami remaja berusia di bawah 20 tahun masih menjadi fenomena di beberapa daerah di Indonesia.
Meski angka Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya penurunan dari tahun 2019 ke tahun 2020 dari 10,82 persen menjadi 10,18 persen, praktik pernikahan dini masih tinggi.
Di Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara dengan kasus pernikahan dini terbanyak kedua setelah Kamboja dan peringkat ke-8 di dunia. Hal ini sangat mengkhawatirkan mengingat pemerintah telah mengatur dengan jelas batas minimal perkawinan menjadi 19 tahun, dan memperketat aturan dispensasi perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.
BKKBN menentukan batas usia ideal untuk menikah pada perempuan yaitu 21 tahun dan pada laki-laki 25 tahun. Ditinjau dari aspek kesehatan, perempuan usia 21 tahun, organ reproduksinya secara psikologis sudah berkembang secara baik dan kuat serta siap melahirkan. Sedangkan dari aspek ekonomi, laki-laki umur 25 tahun sudah siap untuk menopang kehidupan keluarganya.
Penyebab pernikahan dini biasanya adalah faktor budaya dan sosioekonomi. Beberapa orangtua beranggapan bahwa anak dapat menjadi penyelamat keuangan keluarga saat menikah karena anak yang belum menikah akan menjadi beban keluarga.
Ada pula yang beranggapan, anak akan memiliki kehidupan yang lebih baik setelah menikah. Padahal, bila anak tersebut putus sekolah, justru akan memperpanjang rantai kemiskinan serta hak dasar anak seperti sekolah terampas. Dampak lain pernikahan dini adalah merugikan perekonomian negara karena sebanyak 1,7 persen pendapatan negara bisa hilang.
Masyarakat di beberapa daerah masih memiliki pemahaman berbeda tentang perjodohan karena faktor adat dan budaya. Para orangtua masih memiliki kekhawatiran anaknya tidak kunjung menikah dan menjadi perawan tua.
Anak- anak yang sedang masa pubertas, sangat rentan melakukan perilaku seksual sebelum menikah. Untuk mencegahnya banyak para orang tua menikahkan anak mereka. Untuk mengantisipasi terjadinya pergaulan bebas pada anak maka orang tua harus memberikan pemahaman akibat dari pernikahan dini dan kesehatan reproduksi remajanya.
Hal ini bisa diperoleh dengan mengikuti kelompok Bina Keluarga Remaja(BKR). Manfaat BKR adalah agar para orang tua remaja dan anggota keluarga lain mengetahui tahap pertumbuhan dan perkembangan anak dan remaja serta mampu memenuhi kebutuhan asah, asih, dan asuh.
Begitupun dengan anak harus disibukkan dengan kegiatan berkreasi dan berprestasi agar terhindar dari hal-hal yang menyebabkan pernikahan dini. Anak-anak yang belum cukup umur sangat rentan mengalami eksploitasi ataupun penganiayaan setelah menikah. Anak remaja bisa mengikuti kegiatan di wilayahnya seperti Pusat Informasi dan Konsultasi Remaja (PIKR), dimana mereka mendapatkan informasi tentang pernikahan dini, seks bebas, dan narkoba.
Perkawinan dini akan berdampak multi-dimensional, karena dapat membawa implikasi besar terhadap pembangunan, khususnya terkait kualitas dan daya saing sumber daya manusia di masa mendatang.
Dampak negatif pernikahan dini dirasakan oleh ibu maupun anak yang dilahirkan. Terjadi resiko buruk saat melahirkan karena kondisi fisik alat reproduksi belum sempurna, panggul ibu yang sempit dan tidak tercukupinya asupan gizi saat hamil. Akibat lainnya berpotensi mengalami robek mulut rahim yang menyebabkan pendarahan, penyakit preeklamsia, tensi darah naik, kaki bengkak, kejang saat persalinan , anemia, Bayi Lahir Prematur dan BBLR dan kematian ibu saat melahirkan. Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menyebutkan AKI di Indonesia adalah 359 per 100 ribu kelahiran hidup sedangkan AKB sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup.
Adanya hubungan antara usia ibu saat melahirkan dengan angka stunting. Semakin muda usia ibu, makin besar kemungkinannya melahirkan anak stunting. Stunting bisa dimulai sejak pembuahan, sehingga seorang wanita perlu melakukan upaya untuk mencegahnya sedini mungkin, yaitu sejak masa remaja. Tujuannya, agar dapat melahirkan anak yang sehat dengan tumbuh kembang yang baik. Stunting bisa menyebabkan dampak buruk pada kesehatan fisik, dan kesehatan mental anak.
Pernikahan dini berdampak pada masalah sosial, seperti masalah perekonomian yang menyebabkan ketidakharmonisan dalam keluarga. Hal ini disebabkan emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang, akhirnya terjadi rawan perceraian. Kasus perceraian tertinggi menimpa kelompok usia 20 – 24 tahun dengan usia pernikahan belum genap lima tahun.
Dampak lainnya menyebabkan kesehatan mental wanita terganggu. Ancaman pada wanita muda yang rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan mereka belum tahu caranya terbebas dari situasi tersebut serta belum adanya kesiapan mental pasangan. Selain istri, anak juga berisiko menjadi korban KDRT. Anak-anak yang menjadi saksi mata KDRT akan tumbuh dengan berbagai kesulitan, seperti kesulitan belajar, terbatasnya keterampilan sosial, anak kerap menunjukkan perilaku nakal, berisiko depresi atau gangguan kecemasan berat.
Untuk mencegah bahaya kesehatan akibat pernikahan dini, pendidikan bisa menjadi salah satu hal yang berperan penting. Pendidikan dapat memperluas wawasan anak dan remaja serta membantu meyakinkan mereka bahwa menikah haruslah dilakukan di saat dan usia yang tepat. Menikah bukanlah sebuah paksaan dan juga bukan sebuah jalan untuk terbebas dari kemiskinan. Pendidikan dapat memberi informasi mengenai tubuh dan sistem reproduksi diri sendiri ketika nanti akan menikah.