REPUBLIKA.CO.ID, KUDUS -- Pakar kesehatan Ray Wagiu Basrowi mengingatkan masyarakat di Indonesia perlu mewaspadai stunting (tengkes). Dia mengatakan, stunting bisa berdampak pada penurunan kecerdasan otak anak akibat kekurangan gizi.
"Artinya, kekurangan gizi tidak hanya berdampak penurunan berat badan, tetapi juga berkurangnya asupan energi ke otak," ujar Ray Wagiu Basrowi saat menjadi pembicara lokakarya "Cyber Media Forum" dengan tema "Keterkaitan Antara Nutrisi dan Kasus Stunting di Indonesia" secara virtual yang diikuti di Kudus, Kamis (29/9/2022)..
Ia mengatakan otak tumbuh puluhan kali lebih cepat sebagai modal seumur hidup, sehingga otak merupakan organ yang sangat sensitif. Sedangkan pembentukan otak dimulai pada dua tahun pertama tumbuh sekitar 80 persen, kemudian saat mencapai 95 persen berhenti berkembang sampai usia balita, sehingga disebut periode emas.
"Selama periode tersebut, otak membutuhkan zat gizi komplit. Ketika periode itu tidak mendapat asupan gizi yang cukup, tubuh tidak mendapatkan kalori, sehingga diambil dari deposit. Ketika masukan gizi dari luar tidak ada dan deposit juga tidak cukup, akhirnya otak menjadi korban," ujarnya.
Menurut dia, sebelum anak tengkes berusia lima tahun bisa dilakukan intervensi pemberian gizi secara spesifik agar bisa sembuh total. Karena, lewat usia lima tahun susah disembuhkan, kalaupun bisa, hidupnya memang bisa normal, namun kognitifnya jelek.
Anak tersebut, juga masih bisa sekolah, tetapi kemampuan sosialnya kurang baik, termasuk ketika memasuki dunia kerja kinerjanya kurang bagus. Untuk mendeteksi tengkes secara dini, imbuh dia, bisa dilihat dari panjang atau tinggi badan anak kurang jika dibandingkan dengan umurnya, termasuk berat badan anak juga kurang.
Menurut dia, terdapat tiga poin penting yang menjadi penyebab terjadinya tengkes, yakni pola makan, pola asuh dan sanitasi. "Pola makan yang tidak teratur mengakibatkan anak mengalami kekurangan asupan protein dan sumber energi dalam waktu yang cukup lama. Sedangkan pola asuh yang kurang baik, terutama pada perilaku dan praktik pemberian makan kepada anak juga menjadi penyebab," ujarnya.
Terkait dengan sanitasi, kata dia, juga berperan penting dalam pencegahan tengkes, sehingga sanitasi yang baik juga bisa membebaskan anak dari penyakit infeksi. Hasil studi dari berbagai pihak, disebutkan bahwa mayoritas penderita tengkes berasal dari keluarga sosial dengan ekonomi rendah dan rata-rata berasal dari daerah pedalaman.
Untuk itu, perlu ada sosialisasi secara masif agar masyarakat mengetahui ciri-ciri anak tengkes, pencegahan dan penanganannya. Meskipun berada di daerah pedesaan, kata dia, masyarakat bisa mencegah kasus tengkes dengan memanfaatkan makanan yang ada di sekitarnya. Salah satunya, telur ayam bisa diberikan minimal satu butir sehari, dipastikan bisa terhindar dari tengkes. Pemerintah sudah berupaya keras hingga mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk penanganan stunting, karena menargetkan pada tahun 2024 kasus tengkes turun menjadi 14 persen.