Oleh : Christianingsih, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Kabar baik menyapa anak-anak Indonesia. Pada 12 September 2022, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin meresmikan pencanangan imunisasi PCV tingkat nasional. Artinya, vaksin Pneumokokus Konyugasi (PCV) kini dapat diperoleh secara gratis dan dapat diperoleh di fasilitas kesehatan terdekat. Ini berita yang menggembirakan terutama karena WHO merekomendasikan agar PCV masuk dalam program imunisasi rutin bagi anak di seluruh dunia.
Untuk diketahui, sebelum disubsidi pemerintah, orang tua harus merogok kocek sekitar Rp 1 jutaan agar anak-anaknya memperoleh vaksin PCV. Tentu itu harga yang tidak murah dan belum dapat dijangkau oleh semua kalangan. Padahal imunisasi PCV akan memberikan perlindungan untuk bayi dan anak-anak terhadap penyakit pneumonia atau radang paru akibat infeksi bakteri pneumokokus. Mengingat pentingnya imunisasi ini, tak ada alasan lagi untuk tidak memberikan vaksin tersebut kepada anak.
Vaksin PCV dinilai penting lantaran pneumonia merupakan penyakit infeksi yang sangat endemis serta penyebab utama kematian pada bayi dan balita di dunia. Mengutip data Kemenkes, di Indonesia sekitar 14,5% kematian pada bayi dan 5% kematian pada balita setiap tahunnya disebabkan karena pneumonia. Apalagi pneumonia tidak hanya menyebabkan radang paru tapi juga menganggu gizi penderitanya. Gangguan gizi erat kaitannya dengan stunting.
Pencanangan vaksin PCV ini waktunya hampir berbarengan dengan Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN). BIAN diharapkan dapat mengejar ketertinggalan cakupan imunisasi dasar lengkap pada bayi yang sempat menurun karena pandemi Covid-19. Selama dua tahun terakhir sejak 2020 – 2021, cakupan imunisasi dasar lengkap pada bayi turun drastis.
Pada 2020 target imunisasi sebanyak 92% sementara cakupan yang dicapai 84%. Pada 2021 imunisasi ditargetkan 93% tapi cakupan yang dicapai 84%. Ada sekitar lebih dari 1,7 juta bayi yang belum mendapatkan imunisasi dasar selama periode 2019-2021. Anggota Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Soedjatmiko mengatakan setiap tahun ada ancaman campak rubella dan difteri sejak 2007 sampai 2022. Di tahun 2021 ada 25 provinsi dengan kasus rubella meningkat.
Penyakit campak berbahaya bagi bayi, balita, anak sekolah. Campak bukan sekadar demam, batuk, pilek, sesak, bintik merah tapi ada radang otak. Di periode 2012-2017 ada 571 bayi dengan kasus radang otak. Menurut Soedjatmiko, ada juga kasus radang paru atau pneumonia sejak 2012 sampai 2017 dengan jumlah 2.853 bayi dan anak yang mengalami radang paru akibat campak.
Kesenjangan imunitas memang masih menjadi isu tersendiri di Tanah Air. Jika vaksinasi Covid-19 di Indonesia terhitung sebagai salah satu yang tersukses di dunia, maka prestasi ini semoga dapat dicapai vaksinasi pada anak. Banyak faktor yang menyebabkan anak tidak mendapat vaksinasi dasar atau vaksinasi yang disubsidi pemerintah.
Mulai dari keterbatasan akses, alasan spiritual, hingga beredarnya informasi yang salah seputar vaksin sehingga orang tua enggan memvaksin buah hatinya. Padahal vaksin adalah salah satu cara yang mudah dan murah untuk menjaga anak tumbuh sehat.
Di Kabupaten Aceh Timur misalnya, Dinas Kesehatan setempat mencatat capaian imunisasi campak rubella masih rendah, baru tercapai 19,4 persen atau 23.804 anak yang mendapat imunisasi. Saat ini Dinkes tengah menangani 242 anak di Aceh Timur yang memiliki gejala klinis penyakit campak rubella dan empat di antaranya terkonfirmasi. Ini karena tidak adanya imunisasi.
Mungkin belum semua orang tua memahami betapa krusialnya memberikan vaksin pada anak. Menurut data World Bank, imunisasi dapat menyelamatkan sekitar 2-3 juta jiwa di seluruh dunia setiap tahun, yang telah berkontribusi besar terhadap penurunan angka kematian bayi global dari 65 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1990 menjadi 29 pada tahun 2018.
Riset yang dimuat di jurnal Human and Immunotherapeutics pada 24 Januari 2020 menyebut vaksin dapat memiliki beberapa manfaat ekonomi. Salah satu manfaat yang paling terlihat adalah menghindari pengeluaran medis. Dengan mencegah episode penyakit melalui vaksin, biaya ekonomi pengobatan seperti biaya dokter, obat-obatan dan biaya rawat inap, serta biaya perjalanan terkait dan kehilangan upah pengasuh dapat dihindari.
Pemerintah punya pekerjaan rumah untuk memberikan akses yang lebih mudah kepada mereka yang belum dapat menjangkau vaksin terutama di daerah pelosok. Sementara itu dalam menghadapi orang tua antivaksin karena berbagai alasan, pemerintah perlu melakukan pendekatan persuasif dan tanpa paksaan. Tak dapat dipungkiri meski keamanan dan efektivitas vaksin telah terbukti, banyak orang tua yang masih memendam kekhawatiran.
Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Maxi Rein Rondonuwu mengatakan jika kesenjangan imunitas ini tidak segera ditutup, maka akan terjadi peningkatan kasus dan KLB yang akan menjadi beban ganda di tengah pandemi. Kita juga berpotensi gagal mencapai target eliminasi campak rubella pada tahun 2023 dan gagal mempertahankan Indonesia bebas polio yang telah dicapai sejak 2014. Jadi untuk apa ragu jika satu suntikan yang hanya seperti digigit semut itu ternyata bisa menyelamatkan masa depan anak-anak kita.