Selasa 04 Oct 2022 04:20 WIB

Jangan Ada Kambing Hitam di Tragedi Kanjuruhan

Otoritas tertinggi harus bertanggung jawab terhadap tragedi Kanjuruhan.

Presiden Arema FC Gilang Widya Pramana menyampaikan keterangan kepada wartawan di Sekretariat Arema FC, Malang, Jawa Timur, Senin (3/10/2022). Manajemen Arema FC mengatakan siap bertanggung jawab dengan menerima sanksi apapun yang dijatuhkan PSSI dan memfokuskan perhatian pada upaya pemulihan kondisi korban luka serta pemberian santunan pada keluarga korban meninggal atas tragedi di Stadion Kanjuruhan.
Foto: ANTARA/Ari Bowo Sucipto
Presiden Arema FC Gilang Widya Pramana menyampaikan keterangan kepada wartawan di Sekretariat Arema FC, Malang, Jawa Timur, Senin (3/10/2022). Manajemen Arema FC mengatakan siap bertanggung jawab dengan menerima sanksi apapun yang dijatuhkan PSSI dan memfokuskan perhatian pada upaya pemulihan kondisi korban luka serta pemberian santunan pada keluarga korban meninggal atas tragedi di Stadion Kanjuruhan.

Oleh : Mohammad Akbar, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Sungguh tak kuasa menahan duka saat membaca lintasan informasi ketika ratusan penonton yang menjadi korban tragedi Kanjuruhan sebagian besar wajahnya sudah berwarna biru kehitaman. Hal itu disampaikan sejumlah saksi mata yang melihat wajah-wajah rekannya sesama suporter Arema FC di rumah sakit. Miris dan sedih.

Wajah-wajah tak bernyawa yang berwarna biru kehitaman itu diduga korban dari penggunaan gas air mata dari aparat keamanan. Dalih yang digunakan, sebagaimana diungkapkan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, penggunaan gas air mata itu untuk menghalau pendukung Arema FC yang marah usai timnya dikalahkan Persebaya 3-2 pada pekan kesebelas Liga 1 di Stadion Kanjuruhan, akhir pekan kemarin.

Mahfud mengatakan ada sekitar 2.000 orang turun dari tribun penonton menuju lapangan untuk mengejar para pemain, baik dari Arema FC maupun Persebaya. Situasi itulah yang dijadikan dalih untuk membuat polisi menembakkan gas air mata.

Padahal otoritas sepak bola dunia FIFA sudah jelas-jelas mengharamkan penggunaan gas air mata. Dalam aturan FIFA terkait pengamanan dan keamanan stadion (FIFA Stadium Saferty dan Security Regulations), petugas keamanan tidak diperkenankan menggunakan senjata api atau 'gas pengendali massa' saat berada di stadion.

Tapi, sebagaimana cuitan para warganet di jagat maya, larangan yang sudah tertulis tapi tetap diabaikan itu digambarkan dengan sindiran ‘inilah negeri konoha’. Petugas yang harusnya menjalankan aturan, kerap kali justru melakukan pelanggaran. Lantas ketika terjadi peristiwa unpredictable seperti di Kanjuruhan, maka bersiap-siaplah untuk menunggu hadirnya kambing hitam alias menyalahkan pihak yang paling lemah.

Rasanya, masih sangat sulit untuk melihat adanya pejabat atau elite penguasa negeri ini yang bisa dengan dada membusung serta secara berani untuk menunjukkan sikap bertanggungjawab. Sekali, rasa-rasanya di negeri konoha, sikap berani bertanggungjawab semacam itu adalah bentuk utopis.

Para elite dan penguasa lebih gemar menampilkan citra ‘seakan-akan’ peduli dan mempunyai empati kepada orang lemah ketika munculnya hajatan Pilkada atau Pilpres saja. Ketika masalah yang serius muncul maka para elite dan penguasa negeri ini lebih gemar mencari pihak yang pantas untuk disalahkan.

Memang masih terlalu dini untuk menetapkan siapa yang harusnya bertanggungjawab dari peristiwa di Kanjuruhan. Saat ini, semua pihak masih melakukan investigasi atas insiden yang digambarkan sebagai peristiwa terburuk kedua dalam sejarah sepak bola dunia. Dalam catatan sejarah, kejadian di Kanjuruhan itu berada di bawah dari tragedi di Estadio Nacional Disaster, Lima, Peru. Peristiwa yang terjadi pada 24 Mei 1964 itu dikabarkan merenggut 328 nyawa penonton yang juga menghirup gas air mata dari pihak kepolisian setempat.

Terlepas apapun temuan hasil investigasinya nanti, kita semua sepakat bahwa jangan ada lagi korban nyawa dari kompetisi sepak bola di negeri ini. Hal ini juga sudah dipertegaskan oleh Presiden Joko Widodo. Evaluasi dan perbaikan prosedur pengamanan selama digelarnya pertandingan sudah sepantasnya untuk dibenahi dan diperbaiki.

Kita semua tentunya tidak ingin insiden di Kanjuruhan itu membuat FIFA menjatuhkan hukumannya kepada Indonesia. Apa yang terjadi di Kanjuruhan itu memang harus menjadi pelajaran bagi semua pihak.

Utamanya juga kepada para suporter. Memberikan dukungan itu wajib buat klub, tim maupun pemain. Tapi lebih penting lagi adalah para suporter bola harus mulai belajar untuk menerima kekalahan dengan lapang dada.

Untuk menjadikan tragedi Kanjuruhan sebagai pelajaran yang tak boleh terulang di masa depan maka harus ada pihak yang berani bertanggungjawab. Tanggungjawab itu harusnya ditunjukkan oleh pemegang otoritas tertinggi, bukan menjatuhkan hukumannya kepada pihak yang paling bawah dan lemah.

Ketika sikap gentlement dari penguasa itu muncul maka sikap tegas bisa dilakukan kepada para suporter atau penonton yang gemar membuat rusuh. Contoh baik yang bisa diadopsi adalah kebijakan Federasi Sepak Bola Inggris (FA) dalam menghukum penonton yang berbuat rusuh. Jika terbukti melakukan rusuh maka individu tersebut bisa dihukum larangan tidak boleh menonton di stadion sepanjang hidupnya.

Sekali lagi, contoh dari Inggris itu hanya bisa berjalan jika sistem tiket penonton sudah terintegrasi dengan nomor identitas penduduk. Sekarang ini integrasi identitas penduduk untuk membeli tiket ke stadion sudah berjalan di beberapa tempat. Sekarang ini tugasnya hanya tinggal menegakkan aturan, bukan melanggar aturan yang sudah dituliskan.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement