Oleh : Heka Hertanto, Ketua Umum Artha Graha Peduli
REPUBLIKA.CO.ID, Pengamat Asia Paragh Khanna menguliti kebesaran Asia dalam tahun-tahun mendatang. Dalam bukunya The Future is Asian (2019) Khanna menegaskan abad ke-19 adalah abad Inggris, abad ke-20 adalah abad Amerika Serikat, dan abad ke-21 adalah abad Asia. Demikian slogan yang bergaung di internasional. Artinya, kejayaan negara atau benua bisa berganti dan saat ini adalah masanya negara–negara di Kawasan Asia.
Indonesia sebagai bagian dari Asia Tenggara merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang yang memiliki 17 ribu pulau, 7.000 pulau di antaranya berpenghuni yang menjadikan Indonesia sebagai negara kedua dengan garis pantai terpanjang di dunia mencapai 99.083 km serta memiliki 23% keseluruhan ekosistem hutan mangrove dunia.
Fakta ini menjadikan Indonesia memiliki potensi untuk menjadi poros maritim dunia yang dapat menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang besar, kuat, dan makmur. Dengan cara, melalui pengembalian identitas Indonesia sebagai bangsa maritim, pengamanan kepentingan dan keamanan maritim, memberdayakan potensi maritim untuk mewujudkan pemerataan ekonomi Indonesia.
Presiden Jokowi memiliki Visi untuk menjadikan Indonesia sebagai negara poros maritim dunia. Ini telah disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam pidatonya di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-9 East Asia Summit (EAS) di Nay Pyi Taw, Myanmar (13/11/2015). Visi ini kemudian ditindaklanjuti dengan serangkaian program kerja yang berlandaskan kepada lima pilar utama.
Pertama, pembangunan kembali budaya maritim Indonesia. Kedua, berkomitmen dalam menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industri perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama. Ketiga, komitmen mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, pelabuhan laut, logistik, dan industri perkapalan, serta pariwisata maritim.
Keempat, diplomasi maritim yang mengajak semua mitra Indonesia untuk bekerja sama pada bidang kelautan. Pilar kelima, Membangun kekuatan pertahanan maritim.
Untuk dapat mewujudkan visi tersebut, Indonesia harus memfokuskan pengembangan infrastruktur maritim ke wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang merupakan masa depan Indonesia. Wilayah kepulauan di provinsi Maluku sudah menjadi pusat rempah-rempah dunia beberapa abad sebelumnya dengan kedatangan pedagang dari seluruh penjuru dunia.
Sejak masa awal pemerintahan Presiden Jokowi, wilayah KTI telah mengalami pembangunan infrastruktur maritim yang luar biasa guna mendukung visi tersebut.
Pertengahan September lalu, Presiden Joko Widodo, Ibu Negara serta dua menteri melakukan kunjungan kerja ke pulau-pulau di Maluku dan menyempatkan diri untuk menginap selama dua malam di wilayah kepulauan tersebut.
Dalam kunjungan itu, ada dua kata kunci yang bisa dipetik saat rombongan Presiden menyempatkan diri untuk berkunjung ke pabrik pengolahan ikan milik PT Samudera Indo Sejahera (PT. SIS) di Kota Tual. Pertama, aspek ketahanan pangan dan kedua, pertahanan wilayah.
Soal aspek ketahanan pangan, Indonesia memiliki wilayah laut yang sangat luas meliputi 17,92 juta hektar yang mencakup tiga kali luas daratannya. Wilayah laut Indonesia merupakan wilayah yang menjadi sumber pangan dan gizi bagi masyarakat Indonesia, serta merupakan berkah dalam mengembangkan berbagai sector ekonomi berbasis kelautan seperti sektor perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, bioteknologi kelautan, energi dan sumberdaya mineral (ESDM) serta wisata bahari. Salah satu sektor ekonomi kelautan yang saat ini sedang dikembangkan di wilayah timur Indonesia adalah budidaya rumput laut.
Saat berkunjung di kota Tual, Presiden Jokowi menyempatkan diri untuk berdialog dengan nelayan rumput laut. Terungkap pendapatan mereka meningkat dengan melonjaknya harga rumput laut.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memproyeksikan rumput laut dari hasil budidaya di Tual dan Maluku Tenggara sebagai komoditas unggulan ekspor. Hal tersebut didasarkan pada kondisi lingkungan yang masih bagus sehingga pertumbuhan rumput laut lebih cepat dan memiliki kandungan karagenan yang lebih tinggi.
Indonesia memiliki potensi yang besar dalam memproduksi rumput laut karena mempunyai luas lahan marikultur 12,3 juta hektare, sementara potensi itu baru digarap 102 ribu hektare atau baru 0,8%. Saat ini Indonesia merupakan produsen rumput laut terbesar kedua di dunia setelah China (FAO 2020) dan memasok bahan baku rumput laut khusus untuk jenis Euchema cottonii. Jika potensi itu bisa dimaksimalkan, Indonesia bisa menjadi raja rumput laut dunia.
Budidaya rumput laut mudah untuk diaplikasikan, cepat dipanen, serta mampu menyerap banyak tenaga kerja sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Praktik budidaya rumput laut ramah lingkungan, emisi rendah karbon, mereduksi polutan dan berpotensi sebagai renewable resources. Rumput laut, jika dikembangkan maksimal bisa menjadi sumber ekonomi besar.
Prospek potensi budidaya rumput laut di Tual berada di tiga kecamatan dengan jumlah pembudidaya 1.335 orang. Nilai dari budidaya rumput laut per tahun sekitar Rp 6,65 miliar. Sementara, budidaya rumput laut di Kabupaten Maluku Tenggara berada di 10 kecamatan, dengan jumlah pembudidaya sebanyak 1.929 orang. Nilai dari budidaya rumput laut yang diperoleh per tahun mencapai kurang lebih Rp141,5 miliar.
Masih di Tual, setelah rumput laut, sumber lain yakni ikan yang langsung diekspor ke berbagai negara di dunia juga diolah oleh PT SIS menjadi bahan baku pangan seperti tepung surimi. Dalam rangka membangun ekonomi ketahanan pangan, berbasis kemaritiman, ribuan nelayan tradisional bisa menjual hasil ikan kepada industri perikanan pengolahan ikan. Di sini perlu kebijakan kemudahan mengekspor ikan dari pelabuhan-pelabuhan di Maluku seperti di Tual.
KTI memiliki andalan bidang perikanan yang melimpah. Tentunya, bisa menciptakan smelter maritim/food estate maritim yang akan membantu terwujudnya ketahanan pangan kemaritiman, penyerapan tenaga kerja, mendatangkan investasi kemaritiman di Indonesia Timur, dan terciptanya industri pertambahan nilai di Indonesia Timur. Di antaranya, fillet ikan, loin tuna, surimi, fishmeal, pengalengan ikan, dockyard, shipyard, pabrik karagenan (hasil turunan rumput laut Eucheuma Cottoni) dan sebagainya.
Ekspor Langsung (Direct Call) ke negara pasar tujuan ekspor akan menurunkan biaya logistik transportasi. Adanya efisiensi biaya transportasi dapat digunakan untuk meningkatkan harga beli dari nelayan lokal ataupun kapal kapal perikanan berukuran besar. Selain itu juga bisa dilakukan pengembangan perikanan budidaya di Indonesia.
Selama ini hasil laut dilabuhkan di Pelabuhan Pangkalan Tual, dipastikan dapat memberikan multiplier effect kepada ekonomi lokal mulai dari usaha bongkar muat, prosesing, penyediaan logistik supply hasil pertanian/perkebunan ke atas kapal.
Perusahaan swasta nasional di Maluku seperti PT SIS adalah aset ekonomi yang harus didukung sebagai motor ekonomi di Tual dan Maluku Tenggara. Kemudian soal aspek pertahanan wilayah. Rombongan Presiden Jokowi bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto melihat salah satu titik terluar NKRI yakni Pulau Leti yang berbatasan dengan Timor Leste. Prabowo mengatakan, 2,5 tahun yang lalu Presiden Joko Widodo telah memerintahkan pihaknya membuat desain besar pertahanan negara. Di jalur ini menjadi jalur bagi 60 persen perdagangan laut dunia.
Menteri Pertahanan dalam kunjungan tersebut menyatakan masa depan kekayaan Indonesia sebagian besar di Indonesia timur. Pulau-pulau terluar di kawasan itu harus dirancang untuk menjadi bagian dari pertahanan negara. Pulau-pulau terluar di kawasan ini memang harus sudah kita rancang untuk menjadi bagian dari pertahan dan ketahanan wilayah.
Tidak diragukan lagi, Tual adalah masa kini dan masa depan KTI. Kota maritim didominasi lautan dengan cakupan 98,67 persen dari keseluruhan luas wilayahnya. Kota yang ada di tengah Laut Arafura memiliki potensi perikanan yang relatif besar terutama pada jenis ikan pelagis kecil, dengan ikan tangkapan dominan adalah tongkol, tenggiri, reri, layang, kembung, dan sebagainya.
Mesti ada gebrakan dan berpikir out of the box agar Tual menjadi kota pelabuhan ikan. Kapal perikanan yang berizin harus mendaratkan ikan di pelabuhan perikanan yang sudah ditentukan. Tujuannya agar pendaratan ikan tidak lagi tersentralisasi di Jawa dan pemerataan pertumbuhan ekonomi bisa muncul juga di KTI. KTI perlu sentuhan nyata dan aksi nyata agar mutiara dari wilayah itu mampu menyinari Ibu Pertiwi dari Marauke ke Sabang mengikuti arah terbitnya sang surya.