REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Makanan yang dipilih masyarakat berdampak pada keberlanjutan sistem pangan. Food Security & Nutrition Officer, Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), Dewi Fatmaningrum, mengatakan konsumsi makanan yang melebihi angka produksi akan memunculkan banyak permasalahan, mulai dari gizi, sampah makanan, hingga agrikultur.
Berdasarkan laporan Bappenas, konsumsi yang berlebihan salah satunya menimbulkan permasalahan sampah makanan. Timbulan food loss & waste (FLW) alias kehilangan bahan pangan dan produksi sampah makanan pada 2000 hingga 2019 mencapai 115 sampai 184 kg/kapita/tahun.
Kerugiannya, menurut Dewi, diperkirakan mencapai Rp 551 triliun per tahun atau setara empat sampai lima persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Pengelolaan food loss & food waste berpotensi memberi makan 61 sampai 125 juta orang atau setara dengan 29 sampai 47 persen dari populasi nasional.
"Ratusan kilogram terbuang per tahun, padahal makanan sebanyak itu bisa memberikan makan untuk 20 hingga 40 juta populasi nasional," ujar Dewi dalam "Road to Eathink Marketfest 2022", Selasa (11/10/2022).
Kurang limbah makanan
Dewi mengungkapkan food lost and waste Indonesia masuk tiga besar, setelah Arab Saudi and Amerika Serikat. Food loss artinya susut pangan, terjadi kehilangan dirantai pasok mulai dari petani memanen hingga sampai pasar induk.
"Susut pangan, dari cara penanganan sudah banyak yang terbuang. Saat pengangkutan, handling, misalnya sawi hijau, saat pengangkutan, penyimpanan tidak sesuai, sering terbuang," ungkapnya.
Sementara waste terjadi dari retail hingga konsumen. Food waste artinya limbah pangan. Misalnya saat mengonsumsi pecel ayam, Anda tidak menyukai lalapan seperti mentimun, selada, atau kol. Hal ini akhirnya menyebabkan pembuangan makanan.
"Saat membeli, Anda bisa minta jangan tambahkan sayuran daripada dibuang, misalnya kol, sawi, timun untuk lalapan, jangan ditambahkan," kata.