REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Organisasi nirlaba dengan basis kepentingan sipil dan lingkungan Net Zero Waste Consortium menuturkan senyawa Bisfenol A atau BPA semestinya tidak dipakai untuk kemasan pangan karena bisa berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat. "BPA boleh saja dipakai, tapi seyogyanya tidak untuk kemasan pangan karena berpotensi menimbulkan risiko terhadap kesehatan yang sudah terbukti dari berbagai kajian yang dilakukan para ahli," kata perwakilan Net Zero Waste Consortium Ahmad Safrudin dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (18/10/2022) malam.
Ia mengimbau kepada masyarakat maupun pemerintah untuk mengambil langkah bijaksana berupa kehati-hatian sesuai dengan Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan di Rio De Janeiro, Brasil pada 1992 lalu. Menurutnya, dari 21 prinsip pembangunan berkelanjutan, prinsip kehati-hatian merupakan langkah konservatif untuk melindungi kehidupan mengingat analisis para pakar sudah menyatakan adanya dampak buruk dari senyawa BPA tersebut.
Pada 2021 sampai 2022, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah melakukan survei lapangan mengenai kandungan BPA dalam air minum dalam kemasan dengan hasil sebanyak 3,4 persen sampel di sarana peredaran tidak memenuhi syarat batas maksimal migrasi BPA, yaitu 0,6 bagian per juta (bpj). BPOM menemukan fakta ada 46,97 persen sampel di sarana peredaran dan 30,91 persen sampel di sarana produksi sudah masuk kategori mengkhawatirkan berada pada kisaran 0,05 bpj sampai 0,6 bpj.
Dalam survei lapangan itu juga ditemukan ada 5 persen sampel galon baru di sarana produksi dan 8,67 persen di sarana peredaran yang sudah masuk kategori berisiko terhadap kesehatan dengan kandungan BPA di atas 0,01 bpj.
Koordinator Kelompok Substansi Standardisasi Bahan Baku, Kategori, Informasi dan Harmonisasi Pangan Olahan BPOM Yeni Restiani mengatakan, pihaknya sedang merancang revisi peraturan tentang label pangan olahan untuk menurunkan standar kandungan BPA rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dan memberikan informasi yang benar dan jujur. Ia menjelaskan bahaya kandungan BPA pada kemasan pangan bukan lagi isu nasional, tetapi sudah menjadi isu global. Pada 2010 lalu, Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) menyatakan bahwa nilai tolerir BPA adalah 50 mikrogram per kilogram berat badan.
Namun, lima tahun berselang tepatnya pada 2015, Otoritas Keamanan Pangan Eropa menurunkan nilai tolerir BPA menjadi 4 mikrogram pe kilogram berat badan. Setelah itu, mereka kembali menurunkan nilai tolerir hingga 100 ribu kali lebih rendah dibandingkan nilai tolerir BPA pada tahun 2015 lalu.
"Kenapa ini diturunkan? karena ada risiko dampak terhadap kesehatan. Beranjak dari situ, kami melihat beberapa negara sudah mengatur atau bahkan melarang penggunaan BPA, seperti Brazil, Prancis, Kolombia (negara bagian Amerika Serikat) sudah melarang penggunaan BPA pada kemasan pangan," kata Yeni.