Rabu 19 Oct 2022 16:21 WIB

Kuliah Umum di Seskoal, Hasto Bahas Perspektif Geopolitik Soekarno Terkait Pertahanan

Kekuatan pertahanan Indonesia harus dibangun dengan bauran 7 variabel geopolitik.

Kuliah umum Perwira Siswa Pendidikan Regular Sekolah Staf dan Komando AL (Seskoal), di Kampus di Kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Rabu (19/10/2022).
Foto: istimewa
Kuliah umum Perwira Siswa Pendidikan Regular Sekolah Staf dan Komando AL (Seskoal), di Kampus di Kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Rabu (19/10/2022).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pakar Ilmu Pertahanan, Dr.Hasto Kristiyanto, menyatakan TNI harus netral dalam politik praktis, namun harus bisa memahami kebijakan politik negara. Selain itu, Hasto juga menyatakan calon presiden ke depan harus bisa memahami dan mewujudkan perspektif kekuatan pertahanan Indonesia sebagai negara maritim.

Hal itu disampaikan Hasto dalam kapasitasnya sebagai Dosen Universitas Pertahanan RI ketika mengisi kuliah umum Perwira Siswa Pendidikan Regular Sekolah Staf dan Komando AL (Seskoal), di Kampus di Kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Rabu (19/10/2022). Tema kuliah adalah “Pentingnya Pemahaman Geopolitik Terkait Lingkungan Strategis Yang Terjadi Saat Ini Dalam Rangka Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa”.

Baca Juga

Menurut Hasto, setiap perwira TNI harus memiliki pemahaman terhadap aspek-aspek politik pertahanan dalam cara pandang geopolitik.

“Bahwa TNI harus netral dalam politik praktis itu iya, tetapi harus memahami kebijakan politik negara karena membangun kebijakan pertahanan itu melalui kebijakan politik,” kata Hasto.

Dalam kuliah itu, Hasto menjelaskan panjang soal teori geopolitik Soekarno, yang merupakan hasil riset dan karya disertasi doktoralnya di Universitas Pertahanan (Unhan). 

Hasto memberi penjelasan soal latar belakang peristiwa geopolitik dunia yang menyangkut Indonesia. Dan konflik Rusia-Ukraina semakin menyadarkan bahwa pertarungan geopolitik itu selalu ada.

Dijelaskan Hasto, pemikiran Geopolitik Bung Karno lahir berdasarkan ideologi Pancasila, sebagai jawaban atas sistem internasional yang anarkis.

Hasto menjelaskan bahwa berdasarkan risetnya, gambaran perang masa depan itu tetap sama dengan yang digambarkan oleh Bung Karno. Dan untuk menghadapinya, Soekarno sudah memikirkannya.

“Bahwa Indonesia harus menjadi kekuatan pertahanan yang terkuat di Samudera Hindia, guna menyongsong masa depan di Pasifik. Atas cara pandang geopolitik ini, maka kekuatan maritim, udara, darat hingga membangun pertahanan outer space menjadi penting sesuai dengan kondisi Indonesia sebagai negara maritim,” ujar Hasto.

Berdasarkan teori geopolitik Soekarno, kata Hasto, kekuatan pertahanan Indonesia harus dibangun dengan bauran 7 variabel geopolitik, yakni demografi, teritorial, sumber daya alam, militer, politik, koeksistensi damai, sains dan teknologi berdasarkan kepentingan nasional Indonesia.

“Jadi gropolitik itu pengetahuan tentang keadaan kita sebagai negara kepulauan terbesar dengan melihat konstelasi geografisnya. Kita menempatkan laut sebagai halaman dan masa depan kita. Konsepsi pertahanan juga atas cara pandang itu sehingga kekuatan angkatan laut dan udara dengan topangan kekuatan TNI AD menjadi kekuatan terdepan di dalam menghadapi agresi negara lain, dan ketika negara agresor berhasil masuk ke wilayah Indonesia, maka kekuatan Angkatan Darat melalui pertahanan pulau-pulau besar diterapkan dengan topangan AL dan AU. Jadi semua matra kompak, solid, dan menjadi satu kekuatan pertahanan yang efektif bagi Indonesia Raya. Belajar dari Perang Rusia-Ukraina, ekskalasi konflik hingga perang ternyata terjadi karena diawali persoalan geopolitik”, kata Hasto

Pada kesempatan yang sama Hasto menegaskan bahwa geopolitik Soekarno tidak mengenal watak ekspansif. Demikian halnya pertahanan negara. “Kekuatan pertahanan sangat penting agar tidak ada satu pun negara yang berani menganggu kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Namun kekuatan pertahanan ini juga penting guna menjaga dunia yang bebas dari berbagai belenggu penjajahan”, kata Hasto.

Menghadapi persoalan geopolitik di Kawasan, khususnya di Laut Tiongkok Selatan, Hasto menegaskan bahwa Indonesia harus menjadi the guardian of the world peace. “Perintah konstitusi jelas, bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Karena itulah kita perlu TNI yang kuat, agar bisa menjaga perdamaian dunia. Indonesia harus ambil langkah aktif dan progresif guna mencegah perang di Selat Taiwan dan Laut Tiongkok Selatan. Disitulah peran diplomasi luar negeri yang terintegrasi dengan diplomasi pertahanan”, kata Hasto lebih lanjut.

Kata Hasto, teori geopolitik Soekarno menemukan bahwa untuk membangun kekuatan pertahanan negara, kunci paling utamanya adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lalu faktor kedua adalah politik, khususnya diplomasi pertahanan dan luar negeri.

Danseskoal Laksamana Muda (TNI) Yoos Suryono Hadi mengatakan materi kuliah yang disampaikan Hasto sangat penting. Karena militer harus mengantisipasi disrupsi keamanan dengan adanya perang Ukraina Rusia. 

“Perang Ukraina Rusia juga memberi pengaruh secara politik dan ekonomi yang mengharuskan Indonesia mengkalkulasi ulang strategi kebijakan beserta program pemulihan ekonomi, dan reformasi struktural yang menjadi fokus pemerintah,” kata Yoos.

Yoos juga menjelaskan bahwa para perwira sisdwa yang mengikuti kuliah tersebut adalah dari angkatan yang ke-60, sebanyak 182 perwira menengah. Terdiri dari perwira TNI AL 162 orang, TNI AD 2 orang, TNI AU 2 Orang, dan Polri 7 orang.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement