Sabtu 22 Oct 2022 06:30 WIB

Pria yang Sering Konsumsi Makanan Olahan Berisiko Lebih Besar Terkena Kanker Usus Besar

Daging olahan merupakan faktor terkuat yang jadi penyebab kanker usus besar.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Nora Azizah
Daging olahan merupakan faktor terkuat yang jadi penyebab kanker usus besar.
Foto: www.maxpixel.com
Daging olahan merupakan faktor terkuat yang jadi penyebab kanker usus besar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Risiko penyakit seseorang sangat tergantung dari daftar panjang mulai dari faktor genetik, gaya hidup, dan lingkungan. Tetapi para ahli mengungkapkan satu hal yang bisa memberi dampak khusus pada kesehatan, yakni pola diet.

“Faktanya secara global, pola makan yang buruk bertanggung jawab atas lebih banyak kematian daripada faktor risiko lainnya, dan merupakan penyebab utama obesitas dan penyakit tidak menular,” kata sebuah studi tahun 2022 di British Medical Journal (BMJ), dilansir dari BestLife Online, Sabtu (22/10/2022).

Baca Juga

Menurut studi tahun 2022 kedua yang diterbitkan dalam BMJ, para ahli memperingatkan tentang satu jenis makanan yang menurut mereka terkait dengan risiko kanker kolorektal 29 persen lebih tinggi, yakni makan makanan olahan. Untuk menentukan bagaimana pola makan memengaruhi risiko kanker kolorektal, para peneliti di balik penelitian ini yang juga sekelompok ilmuwan dari Universitas Harvard dan Universitas Tufts, mereview tanggapan kuesioner dari sekitar 200 ribu orang.

Data dikumpulkan setiap empat tahun selama 25 tahun, memberikan informasi tentang kebiasaan diet jangka panjang seseorang dan pola frekuensi makanan. Tim kemudian mengklasifikasikan respons tersebut ke dalam kuintil, dan memberi peringkat dari konsumsi makanan ultra-olahan terendah hingga tertinggi.

Mereka menemukan bahwa pria berada pada risiko tertinggi terkena kanker kolorektal. Para ahli mengatakan, mungkin ada beberapa alasan mengapa makanan olahan dikaitkan dengan kanker, selain kurangnya nilai gizi secara umum.

Tapi secara khusus, mereka menyebutkan adanya aditif kosmetik, bahan kontak makanan, senyawa neoformed (NFC), dan kemampuan kita yang berkurang untuk menyerap nutrisi dari makanan olahan, sebagai beberapa kemungkinan penyebab peningkatan risiko kanker. Menurut epidemiolog kanker dan ketua sementara di Friedman School of Nutrition Science and Policy di Tufts, Fang Fang Zhang, faktor-faktor tersebut dapat mengubah mikrobiota usus dan menyebabkan peradangan, yang pada akhirnya membuat kanker lebih mungkin terjadi.

Tim mengetahui bahwa produk yang paling erat kaitannya dengan kanker kolorektal pada pria adalah makanan siap saji yang mengandung daging, unggas, atau ikan. 

"Produk-produk ini mencakup beberapa daging olahan seperti sosis, bacon, ham, dan kue ikan. Ini konsisten dengan hipotesis kami," kata penulis utama studi tersebut dan rekan pascadoktoral di Sekolah Friedman, Lu Wang.

Daging olahan, yang sebagian besar termasuk dalam kategori makanan ultra-olahan, merupakan faktor risiko kuat untuk kanker kolorektal. Makanan ultra-olahan juga tinggi gula tambahan dan rendah serat, yang berkontribusi pada penambahan berat badan dan obesitas, dan obesitas merupakan faktor risiko yang mapan untuk kanker kolorektal.

Para peneliti juga mencatat bahwa konsumsi minuman manis yang lebih tinggi (soda, jus manis, dan minuman berbasis susu manis), dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker kolorektal atau usus besar pada lelaki. Ini menguatkan penelitian sebelumnya, termasuk studi tahun 2021 yang juga diterbitkan di BMJ, dengan kesimpulan yang sama.

Para peneliti tidak menemukan hubungan yang sama pada perempuan, tetapi setiap orang dapat memperoleh manfaat dari diet yang lebih sehat. Secara keseluruhan, penelitian ini meninjau data dari 159.907 perempuan dan 46.341 pria.

Meskipun pria yang mengonsumsi makanan ultra-olahan dalam jumlah tinggi ditemukan memiliki risiko tinggi terkena kanker kolorektal, para peneliti tidak melihat hubungan seperti itu pada perempuan ketika mengonsumsi makanan yang sama.

"Penelitian lebih lanjut perlu menentukan apakah sebenarnya perbedaan jenis kelamin juga mempengaruhi, atau apakah temuan nol pada perempuan dalam penelitian ini hanya karena kebetulan, atau beberapa faktor pembaur lain yang tidak terkontrol pada perempuan yang mengurangi akurasi tersebut," kata co-penulis senior pada studi dan asisten profesor epidemiologi klinis dan nutrisi di Harvard TH Sekolah Kesehatan Masyarakat Chan, Mingyang Song.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement