REPUBLIKA.CO.ID, Akhir musim semi di Eropa berlangsung suram. Musim dingin yang biasa disambut suka cita, kini berubah menakutkan lantaran krisis energi yang tengah mereka alami. Jika tidak diantisipasi sejak dini, bukan tak mungkin Eropa akan membeku di sepanjang musim dingin.
Krisis energi ini terjadi tak lain karena dipangkasnya aliran gas Eropa dari Rusia. Pemangkasan ini dilakukan Rusia karena berkaitan dengan sanksi yang dijatuhkan Uni Eropa dan negara Barat atas invasi yang dilakukan di Ukraina.
Seperti kita ketahui, Eropa mengimpor hampir setengah kebutuhan gas mereka dari Rusia. Sejak perang berkecamuk di Ukraina, kini Eropa hanya menerima 15 persen pasokan gas dari Rusia.
Biaya energi melonjak, membuat industri di Eropa nelangsa. Pasalnya, konsumsi energi oleh industri mencapai 28 persen dari total pasokan gas ke Eropa.
Jerman merupakan salah satu negara dengan konsumsi gas terbesar di Eropa. Saat ini, Jerman berada di fase kedua dari tiga tahap darurat gas.
Pemerintah Jerman telah meminta masyarakat untuk berhemat menggunakan energi. Ini dilakukan agar mereka dapat 'bertahan' jelang datangnya musim dingin.
Jerman juga menyepakati 200 miliar euro sebagai payung pertahanan untuk menangkal krisis energi. Economic Stabilization Fund (WSF) ini akan mengelola dan mendistribusikan bantuan negara. Majelis rendah parlemen Jerman (Bundestag) menyebut, langkah yang diambil menggunakan dana tersebut adalah dengan pembatasan harga gas dan listrik serta bantuan untuk perusahaan yang kesulitan akibat krisis.
Dana Moneter Internasional (IMF) menyebutkan akan terjadi penurunan ekonomi yang cukup dalam di Eropa. Jerman dan Italia adalah negara yang paling dulu tergelincir ke resesi.
Secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju Eropa diperkirakan akan melambat tajam menjadi 0,6 persen pada 2023. Sementara, negara berkembang tumbuh melambat menjadi 1,7 persen.
Laporan IMF mengatakan, lonjakan inflasi juga dapat bertahan lebih lama dan ketegangan sosial dapat memburuk karena kenaikan biaya. Dalam keadaan saat ini, IMF menyerukan kepada bank sentral untuk terus menaikkan suku bunga dan kenaikan lebih cepat di negara maju.
Krisis energi ini memicu gelombang protes seantero Eropa. Akhir pekan lalu, warga Jerman memprotes subsidi yang dinilai tidak adil karena lebih condong untuk industri. Mereka juga menuntut kenaikan gaji yang menyesuaikan tingginya inflasi.
Sementara, masyarakat Prancis telah lebih dulu menggelar aksi protes, dimulai dari para pekerja sektor energi selama dua pekan terakhir. Mereka menuntut kenaikan gaji yang sesuai dengan inflasi.
Di Rumania, pengunjuk rasa meniup terompet dan membunyikan genderang untuk menyuarakan kekecewaan mereka atas meningkatnya biaya hidup. Demonstran Ceko juga berunjuk rasa menentang penanganan pemerintah atas krisis energi.
Meningkatnya inflasi dan harga energi menimbulkan gejolak politik seperti yang terjadi di Inggris. Perdana Menteri Inggris Liz Truss mengundurkan diri setelah enam minggu menjabat. Truss tercatat dalam sejarah sebagai perdana menteri Inggris yang menjabat dalam waktu singkat, yaitu 45 hari saja.
Truss mundur karena rencana kebijakan ekonominya memicu kekacauan di pasar keuangan dan semakin memperparah perekonomi yang sudah lesu.
Krisis energi di Eropa bisa jadi merupakan akibat yang harus mereka rasai usai memberikan sanksi pada Rusia. Membangun jaringan gas baru dari produsen baru tidak secepat Bandung Bondowoso membangun candi. Kebijakan yang sedikit 'egois' oleh pemerintahnya berdampak pada seluruh daratan Benua Biru.
Meskipun demikian, apa yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina bukan sesuatu yang dibenarkan. Karena, tidak ada pemenang dalam sebuah peperangan. Kalah jadi abu, menang jadi arang.