Jumat 28 Oct 2022 07:07 WIB

Unas Gelar Konferensi Internasional Ilmu Sosial dan Politik

Semakin banyak seseorang habiskan waktu dalam media sosial, kian berjarak seseorang.

Universitas Nasional (Unas) menyelenggarakan Konferensi Internasional Ilmu Sosial dan Politik atau International Conference on Social and Political Science (ICOSOP) secara luring..
Foto: Unas
Universitas Nasional (Unas) menyelenggarakan Konferensi Internasional Ilmu Sosial dan Politik atau International Conference on Social and Political Science (ICOSOP) secara luring..

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Universitas Nasional (Unas) menyelenggarakan Konferensi Internasional Ilmu Sosial dan Politik atau International Conference on Social and Political Science (ICOSOP). Penyelenggaraan ICOSOP II fokus pada masalah mobilitas, perjumpaan budaya, dan saling koneksi sosial. 

"Ini menjadi bagian penting dalam pola hubungan sosial, pembentukan institusi, dan nilai-nilai baru masyarakat,” kata Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas, Erna Ermawati Chotim, di Jakarta.

ICOSOP yang digelar secara luring itu menghadirkan pembicara dari dalam dan luar negeri, diantaranya Guru Besar Unas Prof Dr Aris Munandar; Andi Achdian dari Pusat Kejian Sosial dan Politk (PKSP) Unas; Prof Dr L Ayu Sarasvati dari Departemen of Women, Gender, and Sexuality, Studies, University of Hawaii; dan Dr Timo Duille, peneliti dari Bonn University.

Lalu Prof Dr Datuk Shamaul Amri Baharuddin dari Institut of Ethnic Studies, The National University of Malaysia; Prod Dr TB Massa Djafar dari Sekolah Pascasarjana Unas; serta Christofer Kelly dari Kings College London.

Andi Achdian menyoroti karakter sifat utama yang membentuk perkembangan budaya manusia dalam perjalanan sejarah panajang. "Mobilitas lintas benua, lintas negara, dan lintas budaya, bagaimanapun belum mendapatkan perhatiannyang layak dari pada peneliti ilmu sosial di Indonesia," kata Achdian.

Sementara Ayu Sarasvati dalam presentasinya menunjukkan kenyataan penting tentang neoliberal logic yang melahirkan kondisi semakin banyak seseorang menghabiskan waktu dalam media sosial, semakin berjarak seseorang. "Kenyataan ini memberikan gambaran kontras tentang sifat media sosial yang menjanjikan saling hubung (konektivitas) yang dikuasai logika neoliberal,” ujar Ayu.

Sedangkan Timo Duille menyampaikan gagasannya tentang kegamangan yang mencul dalam proses perjumpaan budaya. Ia mengulas tuduhan anti-Semitisme dari media Jerman terhadap tema yang digelar seniman Indonesia dalam pameran seni Dekimenta. “Persoalan pengalaman sejarah berbeda menjadi dasar terjadinya benturan diskursus antara media Jerman dengan para seniman Indonesia,” papar Timo.

Sebelumnya Aris Munandar menyampaikan relasi manusia dan alam menjadi faktor penting dalam perkembangan industri turisme, manajemen sampah, dan keberdayaan berkelanjutan. Keseluruhan tema tersebut membentuk rangkaian tentang bagaimana mobilitas, perjumpaan budaya, dan konektivitas menjadi bagian tak terhindarkan dalam dunia sosial.

Ia mengatakan, ilmuwan sosial sekarang pada kenyataannya untuk mengembangkan kembali perspektif dan metode kreatif ilmu sosial menanggapi perkembangan dunia kontemporer.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement