Oleh : Teguh Firmansyah, Jurnalis Republika.co.oid
REPUBLIKA.CO.ID, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo berulangkali mengingatkan jajarannya agar hidup tidak berlebihan, mentereng, hedonis atau pamer harta. Kebiasaan mengendarai mobil mewah atau motor gede diminta untuk tidak dilakukan lagi, meski berasal dari keluarga berada.
Peringatan ini sejalan dengan teguran yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo sebelumnya. Hal ini sangat penting untuk memperbaiki citra polisi yang sudah turun tajam.
Lingkaran Survei Indonesia Denny JA menyebut tingkat kepercayaan Polri turun drastis hingga 13 persen, dari sebelumnya 72,1 persen ke 59,1 persen. Pun Survei yang digelar Charta Politika pada 6-13 September. Tingkat kepercayaan publik turun di angka 56 persen dari sebelumnya 73 persen. Polri hanya unggul satu persen dibandingkan DPR yang selalu di posisi buncit.
Turunnya kepercayaan publik tak terlepas dari kasus pembunuhan Brigadir J oleh Ferdy Sambo yang sebelumnya menjabat sebagai Kadiv Propam Mabes Polri. Bayangkan, seorang pengawas polisi yang seharusnya menegakkan disiplin Tribrata maupun Catur Prasetya justru terlibat kejahatan pembunuhan.
Namun publik maupun media tak hanya menyoroti soal pembunuhannya saja, tapi juga kekayaan yang dimiliki sambo. Rumah Sambo yang disertai lift serta tas branded milik istri Sambo, Putri Candrawati ikut jadi sorotan.
Belum usai kasus Sambo, Citra Polri kembali terpukul oleh perkara Irjen Teddy Minahasa, eks Kapolda Sumatra Barat, yang disebut telah menjual barang bukti sabu. Meski tuduhan itu telah dibantah Teddy, tapi tetap saja hal ini sangat mempengaruhi citra Polri.
Publik bertanya-tanya, apakah gaji sebagai Polri tidak cukup sehingga harus jual sabu? Apakah kekayaannya yang sebesar Rp 29 miliar masih kurang?
Memang kita tidak bisa semua menyalahkan hal ini ke Kapolri. Karena masalah yang terjadi saat ini bisa jadi adalah imbas dari permasalahan yang sudah lama diabaikan. Dari mulai rekrutmen yang bermasalah, kebiasaan menerima 'hadiah' terima kasih, hingga displin dalam penegakkan hukum.
Contoh mendasar misalnya dalam kepengurusan SIM atau STNK. Begitu sulitnya untuk mendapatkan SIM lewat jalur normal. Pun hal nya dalam pengurusan administrasi STNK untuk gesek lima tahunan yang rawan pungli.
Persoalan mendasar itu selama ini seolah dibiarkan sehingga saat satu Jenderal terkena kasus besar, maka ini merembet ke yang lain. Fenomena ini seperti puncak gunung dari masalah-masalah mendasar yang ada di kepolisian.
Oleh karena itu 'bersih-bersih' yang dilakukan oleh kepolisian mesti didukung. Namun yang perlu menjadi catatan bahwa 'bersih-bersih' sekadar simbol atau jargon hidup sederhana. Ibarat mencuci mobil, kita bersihkan luarnya hingga kelihatan mengkilat, tapi ternyata dalamnya masih kotor penuh sampah.
Inilah tugas berat Kapolri. Bukan hanya meminta jajarannya tak pamer harta, tapi lebih dari itu bagaimana memastikan anak buahnnya menjalankan aturan, tidak mengambil yang bukan haknya serta menegakkan sumpah Tri Brata dengan menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kemanusiaan.
Untuk itu anjuran hidup sederhana ini perlu dtindaklanjuti dengan membangun sistem di internal kepolisian itu sendiri. Misal, memastikan sistem rekrutmen yang bebas pungli atau nepotisme. Tidak boleh ada lagi berita soal penerimaan lewat jalur khusus baik dengan pembayaran uang atau 'anak titipan'. Karena pangkal korupsi ini berawal dari sini.
Beberapa waktu lalu ada berita soal warga NTT yang tertipu ratusan juta rupiah karena ingin nyogok masuk polisi. Bayangkan jika ada orang seperti itu dan benar masuk jadi aparat. Berapa lama ia harus memulangkan duit yang sudah dikeluarkan. Pada akhirnya berbuat curang.
Kemudian, penting juga memastikan tidak ada uang 'terima kasih' atau pungli di jajaran kepolisian, misal dengan mengoptimalkan teknologi digital. Penggunaan tilang ETLE seperti yang didorong Kapolri patut didukung karena ini meminimalkan terjadinya pungli.
Hanya saja perlu dipastikan bahwa tugas Polantas tetap berjalan di lapangan. Pun halnya dengan pengurusan kasus atau pelaporan perlu dibuat sistem untuk meminimalisir pungli atau 'uang terima kasih'.
Dan tak kalah penting adalah membangun transparansi di internal kepolisian. Jika ada polisi dengan uang yang mencapai puluhan miliar rupiah dengan aset yang cukup banyak maka perlu ada standar pembuktian. Dari mana asal uang itu? Ini perlu disampaikan. Sehingga tidak hanya sekadar pencatatan aset saja.
Di luar itu, masih banyak hal lain yang bisa dilakukan untuk melakukan bersih-bersih. Pastinya, tidak semua polisi berbuat curang. Masih banyak polisi jujur dan baik di lapangan.
Di Gresik dulu ada polisi bernama Aiptu Jailani. Integritas sudah tidak diragukan lagi bagi masyarakat di sana. Alm Aiptu Jailani bahkan sempat menilang istrinya sendiri. Jauh sebelum Jailani ada sosok Jenderal Hoegeng yang dikenal sederhana. Ia bahkan memilih untuk dimakamkan di pemakaman biasa. Semoga polisi bisa lebih baik ke depan.