REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Tren ASI eksklusif dilihat cukup meningkat. Meskipun selama pandemi Covid-19, tren tersebut menurun dikarenakan beberapa situasi.
Ketua Umum Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), Nia Umar mencontohkan adanya beberapa fasilitas kesehatan (faskes) yang memisahkan ibu dengan bayi-nya yang baru lahir, tidak bisa dirawat gabung. Sehingga ibu tidak bisa melakukan inisiasi menyusui dini (IMD).
“Padahal keberhasilan menyusui sangat tergantung hari pertama ibu tersebut menyusui anaknya. Jadi tren peningkatan kesadaran ini memang harus diiringi dengan edukasi tenaga kesehatan (Nakes),” kata Nia dalam acara peluncuran platform edukasi DemiKita di Jakarta, Sabtu (29/10/2022).
Idealnya, menurut Nia, semua ibu mendapat dukungan menyusui, baik di faskes swasta maupun fasilitas primer pemerintah seperti puskesmas.
Para ibu harus melakukan IMD, bisa dirawat gabung dengan anaknya dan dibantu konselor menyusui. Tapi kenyataannya, menurut Nia, banyak Nakes belum kompeten, dan masih tidak menerapkan pelayanan 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (LMKM).
Padahal hal tersebut juga tercantum dalam peraturan pemerintah Nomor 33 Tahun 2012, Tentang pemberian ASI eksklusif. Nia menggarisbawahi bahwa kampanye menyusui itu baik, tak tergantikan, tentu sangat penting dan terus simultan.
“Tapi kalau tidak diiringi dengan meningkatkan kompetensi Nakes, maka sama saja bohong karena harus beriringan. Kalau tidak ada yang ngasih tahu, bagaimana ibu bisa menyusui, berdaya?,” kata dia lagi.
Nia juga menanggapi tentang kasus ibu yang insecure atau merasa tidak percaya diri karena tidak memberikan ASI eksklusif. Terdapat pula kasus ibu di Jember, Jawa Timur, yang bahkan tega membunuh anaknya. Sang ibu tertekan dengan ejekan tetangga akibat dirinya tidak bisa menyusui.
Sebetulnya, menurut Nia, hal itu imbas dari kondisi ibu yang tertekan, depresi dan tidak terbaca sejak awal. Karenanya, semua pihak perlu lebih aware.
“Ibu yang harusnya mendapat layanan LMKM tadi bisa jadi tidak dapat, kalau dari awal ada dukungan tidak perlu depresi. Kalaupun ada kesulitan menyusui tetap ada dukungan,” jelas dia.
Selama 15 tahun berkiprah dengan AIMI, Nia melihat bahwa kendala praktik menyusui dan memberikan makanan yang baik adalah karena literasi yang masih sangat rendah. Kemudian sebagai organisasi nirlaba, seakan berhadap-hadapan dengan pihak industri.
Promosi susu formula yang menarik dan dikemas sedemikian rupa saat ini menimbulkan kekeliruan persepsi di masyarakat. Oleh karenanya, Nia juga berharap dan terus mengkampanyekan nilai-nilai menyusui dengan cara yang bisa lebih mudah diterima masyarakat.