Rabu 02 Nov 2022 22:40 WIB

Kasus Penghematan Bahan Baku Obat Juga Pernah Terjadi di Bangladesh

Kasus penghematan bahan baku obat di Bangladesh terjadi sekitar 1990-an.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Nora Azizah
Kasus penghematan bahan baku obat di Bangladesh terjadi sekitar 1990-an.
Foto: Freepik.
Kasus penghematan bahan baku obat di Bangladesh terjadi sekitar 1990-an.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah mengungkapkan adanya penghematan bahan baku obat sehingga menyebabkan kasus gangguan ginjal akut pada anak yang terjadi di Indonesia saat ini juga pernah terjadi di Bangladesh sekitar tahun 1990-an. Saat itu, produsen obat di Bangladesh melakukan penghematan bahan baku obat.

"Rupanya kasus ini seperti sejarah. Pernah terjadi di Bangladesh pada 1990an, saat itu karena motifnya penghematan dengan biaya sepersepuluh dari biaya normalnya," katanya dalam Rapat Kerja bersama Komisi IX yang disiarkan dalam YouTube, Rabu (2/11/2022).

Baca Juga

Oleh karenanya, sangat masuk akal bila keracunan obat di Indonesia dikaitkan dengan mahalnya harga bahan baku pelarut obat sirop, seperti Polietilen Glikol (PEG) atau Propolen Glikol (PG). Ia pun mendukung langkah BPOM dan Bareskrim yang menindak tegas oknum produsen obat sirop di Indonesia yang diduga menggunakan bahan baku obat berkualitas rendah sehingga tercemar senyawa kimia dan tidak memenuhi ketentuan produksi farmasi.

"Kalau yang meninggal sampai ratusan dan ini sudah dinyatakan sebagai tindakan kejahatan kemanusiaan, kami menuntut ini dihukum seadil-adilnya, jangan sampai hanya lima tahun dan sebagainya," tegasnya.

Masih dalam kesempatan yang sama Piprim juga menceritakan betapa frustasinya para dokter anak saat menemukan kasus gangguan ginjal di awal tren kasus. Pasalnya, terdapat  kejanggalan saat pengobatan dengan banyaknya yang anak meninggal dunia setelah melakukan terapi cuci darah.

“Saat itu kami dokter anak cukup frustasi menghadapi kasus ini. Karena ini aneh, tidak seperti biasanya. Kalau gagal ginjal akut saja, tidak ada kencing, dilakukan cuci darah anaknya selamat, ini cuci darah anaknya meninggal,” kata Piprim

Tingginya angka kematian anak akibat gagal ginjal disebut Piprim membuat para dokter anak stress. Karena, banyak anak balita yang masuk rumah sakit dan berakhir meninggal dunia.

“Pada saat itu kita bingung, ini cari obat apalagi?,” ujarnya.

Titik terang pun didapat setelah adanya  laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) perihal kasus serupa di Gambia. Setelah berdiskusi dengan para dokter di Gambia, didapatkan kemiripan dengan para pasien di Indonesia, khususnya di Jakarta.

"Dan setelah penarikan obat (mengandung EG dan DEG), angka kejadian menurun dan kami beralih dari uji patologi ke toksikologi. Rupanya memang banyak kadar EG yang melebihi batas di darah pasien. Walaupun sudah cuci darah, EG masih tinggi. Artinya tinggi banget sebelumnya,” tuturnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement