Oleh : Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Banyak hal yang bisa kita lihat dari beragam sudut pandang setelah Nasdem mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai capres. Di tulisan saya sebelumnya, kita bisa melihat sedikit perjalanan, ikhtiar politik, sekaligus peluang Anies menduduki kursi RI 1. (Lika Liku Laku Anies Baswedan Menuju Pencapresan).
Satu aspek lain yang juga menarik untuk diikuti adalah tingkat keterpilihan atau elektabilitas partai punya Surya Paloh itu pascemendeklarasikan Anies. Lima dari banyak lembaga survei yang mencoba memotretnya menemukan adanya penurunan. Bahkan, ada survei yang hasilnya memperlihatkan perolehan suara Nasdem kurang dari 4 persen alias di bawah parliamentary threshold. Nasdem terancam tak mendudukkan kadernya di parlemen 2024 nanti.
Harapan Nasdem untuk mendapat coattail effect setelah mengusung Anies mengapa tidak, atau minimal, belum terlihat? Sebaliknya, ada kecenderungan perolehan suara Nasdem justru rontok. Ada banyak hal yang mempengaruhi ini. Salah satunya, menurut saya, keterbelahan masyarakat sebagai imbas dari Pilkada DKI 2017 yang belum ‘sembuh’.
Sebelum penjelasan basis argumennya, beberapa hasil survei yang dilakukan setelah deklarasi Anies pada 3 Oktober lalu perlu kita lihat. Survei New Indonesia Research & Consulting yang dirilis pada 22 Oktober menunjukkan, elektabilitas Nasdem tinggal 3,8 persen. Survei ini dilakukan pada 11-17 Oktober 2022 atau sepekan setelah Anies dideklarasikan.
Padahal Februari 2022, lembaga survei ini mencatatkan elektabilitas Nasdem masih 5,3 persen. Kemudian Juni 2022, elektabilitasnya turun menjadi 4,4 persen, dan pada bulan Oktober 2022 tinggal 3,8 persen. Yang perlu juga dicatat, pada pertengahan Juni, Rakernas Nasdem sudah merilis tiga nama capres yang akan diusung, di antaranya Anies. Sejak saat itu elektabilitas Nasdem merosot.
Hasil survei dari Lembaga Survei dan Polling Nasional (SPIN) juga mencatatkan tren penurunan suara Nasdem. Survei yang digelar pada 7-16 Oktober mencatatkan elektabilitas Nasdem 4,3 persen. Meski melewati ambang batas parlemen, tetapi SPIN mencatatkan tren penurunan suara dari survei pada April dan Juli.
Berikutnya temuan survei Polmatrix Indonesia yang dilakukan pada 17-22 Oktober. Hasilnya, tingkat keterpilihan Nasdem tinggal 3,1 persen. Hasil survei LSI Denny JA pun menemukan elektabilitas Nasdem hanya 3,9 persen. Sementara hasil survei SMRC menunjukkan suara untuk Nasdem sebesar 5,4 persen.
Tetapi yang menarik dari survei SMRC adalah tentang kesetiaan pemilih. Pemilih yang setia meski Nasdem mencapreskan Anies tinggal 45 persen. Sementara yang pindah pilihan ke partai lain 42 persen, dan yang belum menentukan pilihan 13 persen. Suara yang pindah tersebut relatif besar.
Pertanyaannya, jika tidak sedikit pemilih Nasdem ‘lari’, apakah suara itu tidak terkompensasi dari pemilih Anies? Jawabannya memang hanya bisa divalidasi melalui survei. Sejauh ini saya belum melihat hasil survei yang menanyakan secara detail hal tersebut kepada responden. Tetapi melihat beberapa hasil survei di atas, orang yang memilih Anies sebagai capres, tidak lantas menjatuhkan pilihannya untuk Nasdem, atau setidaknya belum. Padahal, pengusungan Anies diharapkan membawa efek ekor jas yang mengerek elektoral Nasdem.
Di sisi lain, terlalu dini juga kita menyimpulkan anjloknya elektabilitas Nasdem karena pencalonan Anies. Memang ada elite Nasdem yang memilih keluar dari partai karena alasan tidak cocok dengan Anies. Tetapi itu hanya sebagian kecil. Sangat kecil. Lalu apakah mempengaruhi pemilih Nasdem dalam jumlah banyak? Belum tentu.
Jalan menuju pemilihan legislatif masih panjang. Akan ada banyak faktor yang mempengaruhi pemilih untuk berubah pikiran nanti. Belum lagi jika nanti Anies turun langsung berkampanye. Sangat mungkin pemilih Anies akan mengikuti ‘titah’ mantan gubernur DKI Jakarta itu untuk memilih Nasdem.
Satu alasan lain yang tidak bisa kita pungkiri adalah imbas dari Pilkada DKI 2017. Suka atau tidak, sulit untuk disangkal bahwa sisa-sisa pertarungan saat itu masih terasa sampai sekarang. Kita tentu masih belum lupa dengan bagaimana jaringan media milik Surya Paloh ‘menyerang’ Anies. Sebaliknya, pendukung Anies pun saat itu melakukan persekusi terhadap wartawan Media Group yang bekerja di lapangan. Dan sekarang, mereka berteman, harus bekerja sama, dan saling memuji, setelah lima tahun lalu sempat bertikai.
Harapan bersama yang ditumpukan pada konsep demokrasi ideal dalam memilih pemimpin berdasarkan visi dan misi sepertinya masih jauh panggang dari api. 2024 nanti, rasanya kita masih belum bisa lepas jauh dari isu-isu primordial yang akan mengiringi kontestasi. Tetapi kita tidak boleh putus asa untuk terus mengikhtiarkan kebaikan demi masa depan.
Yang terpenting, kita jangan sampai mengulang ‘kebodohan’ yang pernah membuat kita tak saling sapa, bahkan saling curiga. Sementara mereka semua yang di atas sana, coba lihat, apa tidak sama saja?