Oleh : M. Nasir Djamil, Anggota Komisi Hukum DPR RI dari PKS.
REPUBLIKA.CO.ID, Beberapa hari lalu, Komisi Hukum DPR RI kembali menyetujui warga negara Belanda bernama Shayne Elian Jay Pattynama menjadi warga negara Indonesia. Anak muda berusia 24 tahun ini lahir di Belanda dan memiliki garis keturunan Indonesia dari kakek dan ayahnya. Proses “muallaf”-nya Shyane tersebut disambut suka cita oleh pencinta sepak bola di tanah air. Pasalnya, Shayne sudah lama diincar oleh Timnas Indonesia untuk proses naturalisasi (alih status kewarganegaraan). Shayne yang terakhir bermain di Viking FK, salah satu klub sepak bola papan atas di Norwegia, diharapkan akan menambah kekuatan Timnas Indonesia. “Mimpi besar saya adalah ingin membela Timnas Indonesia dan juara bersamanya”, ujar Shayne yang hadir secara virtual dalam rapat yang memutuskan dirinya diterima menjadi warga NKRI itu.
Disetujuinya Shayne menjadi warga negara Indonesia telah menambah daftar “muallaf kewarganegaraan” di negeri ini. Dalam catatan yang pernah saya dapat dari Kementerian Hukum dan HAM RI, sejak tahun 2010 tercatat ada 27 warga negara asing yang dinaturalisasikan. Kebanyakan mereka bermain di cabang olahraga bola basket dan sepak bola. Di Timnas Indonesia kita mendapatkan nama Kevin Diks, Emil Audero, Sandy Walsh, Noah Gesser, dan Justin Hubner. Diakui atau tidak, proses naturalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dengan alasan menginginkan prestasi di level internasional, hingga saat ini masih seperti pungguk merindukan bulan. Lalu apakah tepat dan adakah yang salah dengan naturalisasi itu? Haruskah alasan ingin mendapat prestasi membuat naturalisasi bak jamur yang tumbuh di musim hujan?
Aturan soal naturalisasi telah diatur dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan Pasal 13 ayat (2) Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam aturan itu ditegaskan bahwa kewarganegaraan Republik Indonesia diberikan kepada orang asing karena prestasinya luar biasa di bidang kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, kebudayaan, lingkungan hidup, atau keolahragaan yang telah memberikan kemajuan dan keharuman bangsa Indonesia. Sedangkan dalam Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia mengatur mengenai bentuk perlindungan hukum bagi warga negara hasil naturalisasi. Oleh karena itu, kewarganegaraan adalah identitas dan di dalamnya terdapat adanya kepastian hukum dari negara mana orang tersebut berasal dan tentu erat kaitannya dengan hak dan kewajibannya terhadap negara dimana dia memperoleh kewarganegaraannya tersebut.
Soal naturalisasi ini memang bukan hanya monopoli Indonesia saja. Cina yang penduduknya paling banyak di planet bumi ini juga melakukan naturalisasi. Luo Guofu dan Elkesen , keduanya warga negara Brazail dan Nico Yennaris atau Li Ke berkebangsaan Inggris dinaturalisasikan dan menjadi Timnas Sepak Bola Cina. Negeri berjuluk tirai bambu itu menilai naturalisasi sebagai pedang bermata dua. Pemain punya dua nama, itu yang dimaksud. Begitu juga dengan Perancis saat mengikuti Piala Dunia 1998. Pelatih Timnas Perancis kala itu, Aime Jacquet dikritik karena menyertakan banyak pemain imigran di tubuh squad Les Blues yang tak hafal "La Marseillaise”, lagu kebangsaan Perancis. Sang pelatih tak bergeming dan akhir Perancis merengkuh dan mengangkat Piala Dunia di panggung kehormatan untuk pertama kalinya. Hal yang sama juga terjadi dengan Timnas sepak bola Italia.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Apakah nasionalisme dan patriotisme berbanding lurus dengan prestasi? Jujur kita akui bahwa keinginan itu belum sepenuhnya dapat diraih. Selain kultur olahraga yang masih dikelola secara “partisan”, pembinaan atlit dalam arti rekruitmen, pendidikan, dan kesejahteraan masih menjadi kendala besar. Cerita soal atlit yang tak jelas nasibnya setelah pensiun masih menghias surat kabar. Tapi syukurlah, kemarin, saya membaca di salah satu media online, bahwa sejumlah pebulutangkis Indonesia yang telah menoreh prestasi “dijadikan” aparatur sipil negara alias PNS. Tapi menjadi ASN adalah soal lain. Yang paling penting untuk diseriusin adalah soal prestasi yang kerap dijadikan “senjata” untuk “menodong” DPR RI saat pemerintah dan PSSI ingin melakukan naturalisasi.
Tentu saja kita mendukung naturalisasi selama tidak diposisikan sebagai “proyekisasi” atau “agenisasi” oleh segelintir oknum demi mendapat segepok rupiah. Sebab membicarakan naturalisasi ini seperti menendang bola panas. Di tengah “konstituen olahraga” terutama sepak bola, perbincangan ini kerap diwarnai pro dan kontra. Dari 27 atlit yang dinaturalisasi itu, bisa dihitung dengan jari yang masih bertahan dan berprestasi. Selebihnya tertatih-tatih beradaptasi dengan kultur sepak bola di negeri ini. Bahkan ada yang layu sebelum berkembang. Menjadi runner up Piala AFF tahun 2010 dan 2012 dan meraih medali perunggu di ajang Sea Games 2017 adalah sejumlah prestasi yang pernah ditoreh Ketika para pemain imigran itu hadir di Timnas Indonesia. Tapi bukan berarti tidak ada cerita buruk tentang mereka.
Soal pro dan kontra hingga kini masih terus bergulir saat bicara naturalisasi. Bagi yang setuju, kurangnya kualitas yang dimiliki pemain lokal sangat dirasakan. Meskipun turnamen bola kaki dimainkan mulai dari level kampung hingga level negara, sangat sulit mendapatkan pemain yang ideal. Pembinaan yang “carut-marut” ikut menyumbang minimnya pemain lokal yang memiliki fisik, taktik, dan mental yang mumpuni. Adapun yang tidak setuju masuknya gelombang “muallaf-kewarganegaraan”, selain soal prestasi, alasan patriotik adalah hal yang utama. Mereka menilai cerita sukses Timnas Indonesia U-16, U-19, U-21 adalah “millestone” untuk meraih obsesi di level senior. Jika yang junior saja mampu unjuk gigi, apalagi yang senior. Begitulah harapan mereka yang tak setuju masuknya gelombang naturalisasi.
Terlepas dari pro dan kontra serta belum adanya cerita sukses yang dilakoni oleh pemain naturalisasi itu, ke depan kita meminta pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga serta PSSI segera merealisasikan cetak biru pembinaan olahraga nasional. Sebab dengan cara itu kita akan lebih kuat dan percaya diri. Jika itu terwujud, maka naturalisasi kita posisikan sebagai “makanan tambahan” yang memang kita butuhkan untuk bisa menghadirkan “empat sehat lima sempurna” dalam dunia olahraga nasional.
Bukan hanya sepak bola, semua cabang olahraga di tanah air diharapkan mampu berprestasi di level internasional. Karena itu, pemerintah perlu segera merealisasikan cetak biru olahraga nasional. Cetak biru ini merupakan bentuk pertanggungajawaban negara terhadap kemajuan olahraga di tanah air.
Memang ini kerja jangka panjang sebab lama nian negeri ini tidak memiliki cetak biru memajukan olahraga nasional. Karena itu, sebelum mengakhiri tugasnya sebagai Presiden, Jokowi diharapkan bisa memberikan arahan dan memerintahkan kementerian lembaga terkait agar cetak biru keolahragaan nasional. Jika ini bisa diwujudkan maka ekosistem olahraga nasional tentu semakin kondusif untuk menghadirkan prestasi di level internasional. Sebab, kalau hanya mengandalkan naturalisasi untuk mendapat prestasi dalam keolahragaan nasional kita, terutama cabang sepak bola, maka itu persis seperti orang yang sedang melakukan treadmill. Bergerak dan berkeringat tapi hanya jalan di tempat.
Alokasi dana untuk membangun eksositem keolahragaan nasional juga tidak kecil. Karena itu, perhelatan olah raga, baik di level daerah dan nasional, diharapkan menjadi bagian dari pembangunan infrastruktur olahraga dan pembinaan atlit dalam jangka panjang. Sekali lagi, jika hanya mengandalkan naturalisasi untuk menggapai prestasi, maka pertanyaannya adalah siapa menguntungkan siapa?