Ahad 20 Nov 2022 09:27 WIB

Harapan Kepada 13 Kader Terbaik Muhammadiyah

13 kader, mengemban amanah Muhammadiyah

Suasana pemungutan suara elektronik atau e voting saat Muktamar ke-48 Muhammadiyah di Edutorium UMS, Surakarta, Jawa Tengah, Sabtu (19/11/2022) malam. Sebanyak 50 bilik suara disiapkan panitia pemilihan untuk pemungutan suara dari 2700an peserta Muktamar ke-48 Muhammadiyah. Mereka akan memilih 13 anggota tetap PP Muhammadiyah masa jabatan 2022 hingga 2027.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Suasana pemungutan suara elektronik atau e voting saat Muktamar ke-48 Muhammadiyah di Edutorium UMS, Surakarta, Jawa Tengah, Sabtu (19/11/2022) malam. Sebanyak 50 bilik suara disiapkan panitia pemilihan untuk pemungutan suara dari 2700an peserta Muktamar ke-48 Muhammadiyah. Mereka akan memilih 13 anggota tetap PP Muhammadiyah masa jabatan 2022 hingga 2027.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof DR Agus Suradika, Wakil Ketua PWM DKI Jakarta.

Dalam suatu kesempatan ngobrol ringan di Pimpinan Cabang Muhammadiyah Tebet Timur, Jakarta Selatan beberapa tahun lalu ada pertanyaan agak serius: argumentasi apa yang dapat menjelaskan mengapa Muhammadiyah yang awal kelahiran sampai dengan awal 1990-an dipimpin oleh Kiyai Haji berlatar pesantren, kini lebih banyak dipimpin oleh para akademisi Islam berlatar kampus?.

Jawaban saling bersahut dalam suasana riuh tapi santai itu amat beragam. Dari yang bergurau mengatakan bahwa pimpinan Muhammadiyah tidak layak menyandang sebutan Kiyai karena tidak berani melakukan poligami, sampai pada jawaban yang sangat serius yang mengusulkan agar dilakukan penelitian yang fokus pada masalah sosiologis tersebut. Dari obrolan santai itu seorang teman menyimpulkan bahwa pergeseran sebutan terjadi karena Muhammadiyah adalah organisasi dinamis yang terus bergerak menyikapi perkembangan zaman.

Pertanyaan itu menjadi semakin relevan melihat komposisi tiga belas Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2022-2027 yang baru saja dipilih oleh para muktamirin, ketiga belas kader terbaik tersebut adalah Haedar Nashir, Abdul Mu'ti, Anwar Abbas, Busyro Muqoddas, Hilman Latief, Muhajir Effendi, Syamsul Anwar, Agung Danarto, Saad Ibrahim, Syafiq Mughni, Dadang Kahmad, Ahmad Dahlan Rais, dan Irwan Akib. Dilihat dari profesinya, seluruhnya  berlatar belakang akademisi yang mengajar di berbagai Perguruan Tinggi. Delapan di antaranya adalah doktor  dengan jabatan fungsional guru besar. Tidak ada satupun dari ketiga belas nama tersebut yang mencantumkan atau dicantumkan pada namanya sebutan Kiyai Haji. Hal ini mungkin terjadi  karena dua keadaan berikut ini.

Pertama, secara sosiologis sapaan Kiyai Haji adalah sebutan lokal yang hampir tidak dikenal di belahan dunia lain, sedangkan Doktor, Magister, Doktorandus, dan Profesor adalah sebutan universal yang dikenal di seluruh belahan dunia. Dari sisi ini mungkin dapat dipahami bahwa Muhmmadiyah yang diawal kelahirannya adalah organisasi lokal yang wilayah operasionalnya terbatas di Yogyakarta kini telah bermetamorfosis menjadi organisasi berskala global yang aktifitas organisasinya menyebar ke seantero dunia di sejumlah cabang istimewa pada  berbagai negara. 

Kedua, Fakta sosiologis ini  menjadi bukti bahwa Muhammadiyah sebagaimana yang dicita-citakan KHA Dahlan  konsisten mengubah pendidikan dari yang berwatak sekuler yang memisahkan pendidikan agama dengan pendidikan umum menjadi pendidikan yang mengintegrasikan pengetahuan agama dan pengetahuan umum.  13 kader terbaik Muhammadiyah yang dipilih oleh muktamirin tersebut adalah kaum terpelajar yang  tidak hanya ahli di bidang keagamaan, tetapi juga pakar di bidang keilmuannya masing-masing. 

Selamat berkarya kepada  Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2022-2027. Di bawah kepemimpinan mereka, insya Allah Muhammadiyah akan terus bergeliat untuk memajukan Indonesia, mencerahkan semesta.

Wallhu a’lam bi al shawab 

Solo, 20 November 2022

 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement