REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof DR Agus Suradika, Wakil Ketua PWM DKI Jakarta.
Dalam suatu kesempatan ngobrol ringan di Pimpinan Cabang Muhammadiyah Tebet Timur, Jakarta Selatan beberapa tahun lalu ada pertanyaan agak serius: argumentasi apa yang dapat menjelaskan mengapa Muhammadiyah yang awal kelahiran sampai dengan awal 1990-an dipimpin oleh Kiyai Haji berlatar pesantren, kini lebih banyak dipimpin oleh para akademisi Islam berlatar kampus?.
Jawaban saling bersahut dalam suasana riuh tapi santai itu amat beragam. Dari yang bergurau mengatakan bahwa pimpinan Muhammadiyah tidak layak menyandang sebutan Kiyai karena tidak berani melakukan poligami, sampai pada jawaban yang sangat serius yang mengusulkan agar dilakukan penelitian yang fokus pada masalah sosiologis tersebut. Dari obrolan santai itu seorang teman menyimpulkan bahwa pergeseran sebutan terjadi karena Muhammadiyah adalah organisasi dinamis yang terus bergerak menyikapi perkembangan zaman.
Pertanyaan itu menjadi semakin relevan melihat komposisi tiga belas Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2022-2027 yang baru saja dipilih oleh para muktamirin, ketiga belas kader terbaik tersebut adalah Haedar Nashir, Abdul Mu'ti, Anwar Abbas, Busyro Muqoddas, Hilman Latief, Muhajir Effendi, Syamsul Anwar, Agung Danarto, Saad Ibrahim, Syafiq Mughni, Dadang Kahmad, Ahmad Dahlan Rais, dan Irwan Akib. Dilihat dari profesinya, seluruhnya berlatar belakang akademisi yang mengajar di berbagai Perguruan Tinggi. Delapan di antaranya adalah doktor dengan jabatan fungsional guru besar. Tidak ada satupun dari ketiga belas nama tersebut yang mencantumkan atau dicantumkan pada namanya sebutan Kiyai Haji. Hal ini mungkin terjadi karena dua keadaan berikut ini.
Pertama, secara sosiologis sapaan Kiyai Haji adalah sebutan lokal yang hampir tidak dikenal di belahan dunia lain, sedangkan Doktor, Magister, Doktorandus, dan Profesor adalah sebutan universal yang dikenal di seluruh belahan dunia. Dari sisi ini mungkin dapat dipahami bahwa Muhmmadiyah yang diawal kelahirannya adalah organisasi lokal yang wilayah operasionalnya terbatas di Yogyakarta kini telah bermetamorfosis menjadi organisasi berskala global yang aktifitas organisasinya menyebar ke seantero dunia di sejumlah cabang istimewa pada berbagai negara.
Kedua, Fakta sosiologis ini menjadi bukti bahwa Muhammadiyah sebagaimana yang dicita-citakan KHA Dahlan konsisten mengubah pendidikan dari yang berwatak sekuler yang memisahkan pendidikan agama dengan pendidikan umum menjadi pendidikan yang mengintegrasikan pengetahuan agama dan pengetahuan umum. 13 kader terbaik Muhammadiyah yang dipilih oleh muktamirin tersebut adalah kaum terpelajar yang tidak hanya ahli di bidang keagamaan, tetapi juga pakar di bidang keilmuannya masing-masing.
Selamat berkarya kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2022-2027. Di bawah kepemimpinan mereka, insya Allah Muhammadiyah akan terus bergeliat untuk memajukan Indonesia, mencerahkan semesta.
Wallhu a’lam bi al shawab
Solo, 20 November 2022