REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Yunan Syaifullah, menilai tidak ada hal menarik dari sisi ekonomi dengan terpilihnya Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Tanpa adanya gelaran Piala Dunia 2022, Qatar sudah menjadi pelaku ekonomi besar di wilayah Timur Tengah.
Menurut dia, Qatar merupakan salah satu negara terkaya sebagai produsen minyak dunia. Selain itu, Qatar juga memiliki pertumbuhan ekonomi 6,3 persen. "Dan Gross Domestic Product (GDP) mencapai 176 miliar dolar AS," kata Yunan di Malang.
Jika dilihat secara teori pembangunan, keputusan Qatar sebagi tuan rumah perhelatan sepak bola yang diadakan setiap empat tahun sekali ini disebut teori terbalik. Jika dahulu negara besar yang mendominasi perekonomi dunia seperti Amerika Serikat dan Eropa, maka saat ini ada tren atau kecenderungan bahwa negara-negara yang tidak diperhitungkan bisa menjadi pemain.
Menurut dia, pada dasarnya setiap negara yang menjadi tuan rumah dalam Piala dunia akan mengalami pola yang sama dari sektor ekonomi. Beberapa di antaranya seperti peningkatan pendapatan di industri travelling baik dari transportasi maupun perhotelan. Begitu pula dengan potensi terbukanya pasar baru di bidang merchandise atau brand global seperti Adidas, Nike, Puma dan lainnya.
Faktanya, Qatar menjadi negara yang menggelontorkan dana paling besar sepanjang sejarah Piala Dunia, yakni senilai 200 miliar dolar AS. Biaya yang fantastis itu merupakan bentuk harga diri bagi Qatar sebagai eksistensi negara penetrasi ekonomi. Selain itu, juga sebagai pembuktian antitesa teori-teori pembangunan yang telah dibahas sebelumnya, bahwa negara-negara yang dianggap kecil juga bisa ikut andil dalam ekonomi dunia.
Jika dilihat dari teori rasionalitas ekonomi, banyaknya dana yang dikeluarkan Qatar di Piala Dunia berdasarkan pada ego dan kepentingan. Dengan kata lain, Qatar sebagai pelaku ekonomi tidak hanya memiliki tujuan di aspek ekonomi saja, tetapi juga beriringan dengan kepentingan-kepentingan lain. "Contohnya seperti politik,” ucapnya dalam pesan resmi yang diterima Republika.
Menurut Yunan, ajang ini menjadi kesempatan bagi negara-negara untuk membuktikan kekuatannya, termasuk negara-negara yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Apalagi melihat ada sederet negara besar yang gagal melaju ke putaran final Piala Dunia. Hal itu dikarenakan munculnya kejutan dari negara yang tidak memiliki tradisi sepakbola.