REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Rumah Baca Cerdas (RBC) Institute Abdul Malik Fadjar Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mendorong Muhammadiyah mengedepankan politik gagasan dalam rangka menyongsong tahun politik pada 2024. Dengan demikian, Muhammadiyah sebagai bagian dari rekan kritis pemerintah perlu membicarakan isu-isu strategis.
Direktur Eksekutif RBC UMM, Subhan Setowara menilai, Muhammadiyah harus memerankan fungsinya sebagai penengah antara penguasa dan rakyat. Hal itu tidak lepas dari kerja yang selama diupayakan Muhammadiyah yakni kerja pembangunan peradaban manusia.
Kerja ini dianggap sebagai hal yang sebenarnya dibutuhkan bangsa. "Karena itu, Muhammadiyah turut serta menjawab masalah-masalah kekinian, seperti resesi global, krisis pangan, dan ikhtiar memajukan ekonomi rakyat. Itulah politik yang sebenarnya bagi Muhammadiyah,” katanya.
Sementara, Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership, Neni Nur Hayati menyatakan, pemilu serentak 2024 harus dijadikan tonggak perbaikan secara substansial. Pemilu diharapkan fidak sekadar menjadi ajang demokrasi prosedural yang konstelatif.
Pemilu juga harus menjadi momentum transformasi demokrasi untuk membangun politik yang semakin beretika, beradab, dan bermoral.
Menurutnya, Muhammadiyah perlu tetap konsisten menjaga moral bangsa melalui peran-peran kenegarawanan. Peran Muhammadiyah bisa dijalankan melalui upaya mendorong kader-kader terbaik Muhammadiyah untuk ikut terlibat aktif dalam politik.
Sebab, hal itu merupakan bagian dari misi amar ma’ruf nahi munkar. Distribusi kader-kader Muhammadiyah yang unggul dan memiliki passion politik diharapkan bisa menjadi penyeimbang dari gerakan-gerakan negatif.
Hal ini terutama pada saat memasuki tahun-tahun politik. Terlebih lagi, Pemilu 2024 diprediksi sarat masalah seperti politik uang, korupsi politik, politik identitas, hoaks, dan berbagai persoalan lainnya.
Meskipun demikian, untuk bisa mendistribusikan kader-kader terbaik Muhammadiyah harus bekerja keras. Muhammadiyah perlu mempersiapkan kader terbaiknya termasuk juga kader perempuan yang memiliki kapasitas, kapabilitas dan kualitas yang mumpuni.
Mereka perlu dihibahkan kepada bangsa melalui partai politik atau dapat maju sebagai calon perseorangan. Hal yang sama juga diutarakan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Nasyiatul 'Aisyiyah (PPNA), Diyah Puspitasari, pada sesi diskusi.
Posisi Muhammadiyah yang non-partisan harusnya bukan menjadi garis demarkasi yang timpang dengan politik. "Perlu ada penyesuaian yang adaptif dan solutif dengan kondisi untuk mempersiapkan kader terbaik Muhammadiyah menjadi kader bangsa," ujarnya.