Oleh : Nasihin Masha, Mantan Pimpinan Redaksi Republika
REPUBLIKA.CO.ID,
Indonesia memiliki kekayaan flora dan fauna yang luar biasa. Namun kali ini kita hanya akan membahas flora saja. Itu pun lebih spesifik ke tanaman buah. Lebih khusus lagi buah durian.
Dalam peta geologi, kepulauan Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah yang dipisahkan oleh Garis Wallace dan Garis Weber. Garis Wallace diambil dari nama Alfred Russel Wallace (1823-1913). Pria berkebangsaan Inggris ini seorang geografis, arkeologis, paleontologis. Garis ini ditarik dari Selat Lombok (Memisahkan Bali dan Lombok) ke atas ke Selat Makassar (Memisahkan Kalimantan dan Sulawesi). Sedangkan Garis Weber diambil dari nama Max Carl Wilhelm Weber (1852-1937).
Pria kelahiran dan besar di Jerman ini adalah dosen di Universitas Utrecht, Belanda. Ia ahli zoologi dan ahli biogeografi. Menurutnya pemisah itu bukan seperti yang disebutkan oleh Wallace, tapi dari Kepulauan Tanimbar terus ke atas yang memisahkan Papua dengan wilayah lainnya. Garis Wallace dan Garis Weber ini sebetulnya sedang menjelaskan perbedaan flora dan fauna yang berbeda di Indonesia.
Di sisi barat berciri Asia, karena di Zaman Es merupakan satu kesatuan daratan dengan Asia. Bentuknya seperti anak benua, mirip anak benua India atau Jazirah Arab. Dikenal sebagai paparan Sunda (Sundaland). Sedangkan di sebelah timur berciri Australasia atau dikenal sebagai paparan Sahul. Namun ada wilayah transisi, yaitu dari Garis Wallace dan Garis Weber tersebut. Bisa dibayangkan kekayaan flora dan fauna yang dimiliki Indonesia.
Di barat ada sekitar 25 ribu spesies tumbuhan, di area transisi terdapat 10 ribu spesies tumbuhan, dan di timur terdapat 20 ribu spesies tumbuhan. Karena itu, di dunia, kekayaan flora dan fauna di Indonesia disebut sebagai mega biodiversity. Saking kayanya.
Kekayaan ragam hayati itu bisa menghasilkan turunan yang lebih banyak lagi jika terjadi persilangan maupun mutasi. Persilangan itu bisa dilakukan secara sengaja maupun secara alami. Persilangan secara alami terjadi karena faktor angin maupun karena serangga dan binatang lainnya. Sedangkan persilangan secara sengaja dilakukan oleh manusia.
Persilangan secara sengaja itu dilakukan dengan cara sederhana maupun dengan cara yang lebih rumit. Persilangan secara sengaja sederhana dilakukan dengan cara menempelkan serbuk sari ke putik sari, persis cara kerja angin, serangga, atau binatang lain. Inilah yang dulu dilakukan Gregor Johann Mendel (1822-1884), yang dikenal sebagai bapak genetika. Sedangkan persilangan secara sengaja dengan cara rumit dilakukan dengan teknik kultur jaringan, yaitu suatu metode untuk mengisolasi bagian tanaman seperti sel, jaringan atau organ tanaman untuk dibudidayakan dalam lingkungan terkontrol dan aseptik sehingga bisa tumbuh menjadi tanaman.
Teknik yang paling rumit adalah dengan plasma nutfah, karena langsung pada sifat keturunan (gen) dari suatu organisme, termasuk tumbuhan. Plasma nutfah adalah suatu molekul yang ada di dalam kromosom, yaitu sel pembawa sifat keturunan. Melalui teknik ini bisa dirakit atau dikembangkan agar tercipta kultivar unggul yang baru. Semua hal itu dikenal sebagai pemuliaan tanaman. Teknik pemuliaan itu telah berkembang demikian pesat dan rumit dengan banyak ragamnya.
Durian, Komoditas Menguntungkan
Seorang pegiat perdurianan, di akun sosmednya, mengeluhkan Malaysia dan Thailand justru lebih menguasai pasar durian di dunia. Pasar Indonesia pun dibanjiri durian Malaysia dan Thailand. Kita sangat akrab dengan durian Malaysia seperti Musangking, Duri Hitam (Black Thorn/Ochee), Udang Merah, dan sebagainya. Kita juga sangat akrab dengan durian Monthong, Kanyao, dan Chanee dari Thailand.
Durian adalah endemik tanaman di Sumatra, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya (sebagian wilayah Thailand berada di semenanjung ini). Karena itu, 99 persen produksi durian berasal dari Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Sebenarnya, berdasarkan catatan Balitbang Kementerian Pertanian, dari 30 spesies durian di dunia, sebagian besar berada di Indonesia. Yaitu 20 ada di Sumatra dan 7 ada di Kalimantan. Dari tiga wilayah itulah tanaman dunia menyebar ke berbagai wilayah.
Keluhan pegiat perdurianan tersebut tak salah. Buah durian digemari di Asia Tenggara, namun penduduk di luar itu umumnya mengeluhkan aromanya yang terlalu menyengat, apalagi orang-orang Eropa. Karena itu, si raja buah ini masih butuh pengenalan bagi orang-orang di luar Asia Tenggara.
Thailand adalah salah satu negara yang memiliki kesadaran untuk mengembangbiakkan tanaman, termasuk durian. Sebagai contoh, seperti dicatat Heni Retno Indriati, pada 1960, Raja Bhumibol Adulyadej dan Ratu Sirikit, saat berkunjung ke Indonesia, memberikan hadian durian Monthong ke Presiden Sukarno. Durian ini kemudian dibiakkan di pusat benih di Lampung Timur. Kini, durian Monthong sudah menyebar di seluruh Indonesia.
Kita sangat mengenal Monthong Palu atau Monthong Bali. Durian monthong yang beraroma tak menyengat bisa diterima orang Eropa. Malaysia adalah negara kedua yang memiliki kesadaran untuk mengembangbiakkan tanaman durian. Karena itu, ketika masyarakat di luar Asia Tenggara mulai menggemari durian, maka dua negara inilah yang kemudian menikmatinya. China adalah pasar terbesar untuk ekspor durian.
Berdasarkan catatan Alhilal Hamdi, mantan menteri yang kini menggiati budidaya durian, pada 2019, China mengimpor durian 600 ribu ton dengan nilai sekitar Rp 25 triliun. Impor dari Malaysia 7.700 ton atau Rp 990 miliar. Sebagian besar diimpor dari Thailand. Pada 2020, di saat pandemi Covid-19, pasar durian di China tetap besar. China mengimpor 575 ribu ton dengan nilai 2,2 miliar dollar AS.
Heni mencatat di Thailand terdapat 234 kultivar durian, namun mereka hanya mengembangkan 7 kultivar saja. Di antaranya adalah Mon Thong (Si Bantal Emas), Kan Yao (Si Leher Panjang), Chanee (Gibbon), dan Kradum Thong (Si Tombol Emas). Monthong adalah yang paling banyak dibudidayakan karena baunya tak tajam sehingga orang Barat pun suka.
Indonesia memiliki banyak kultivar unggul. Di antaranya durian Petruk (Jepara), Si Tokong (Betawi), Si Mas (Bogor), Sunan (Boyolali), Si Dodol (Kalimantan Selatan), Si Japang (Karang Intan, Kalimantan Selatan), Si Hijau (Karang Intan, Kalimantan Selatan), Sukun (Karanganyar), Bawor (Banyumas), Si Bintang (Pandeglang), Matahari (Bogor), Perwira (Sinapeul, Majalengka), Tembaga (Kuantan Singingi), Tapak Gajah (Kuantan Singingi), Tambak (Kuantan Singingi), Gento (Kuantan Singingi), Jantung (Kuantan Singingi), Tegayun (Kuantan Singingi), Terong (Kuantan Singingi), Labu (Kuantan Singingi), Tapak Jalak (Kuantan Singingi), Kutu Alus (Kuantan Singingi), Si Dodol (Kalimantan Selatan), Cumasi/Namlung/Tai Babi (Bangka), Tembaga Super (Bangka), Bido Wonosalam (Jombang), Si Mimang (Banjarnegara). Dari semua itu, yang paling digemari adalah durian Bawor, dengan harga lumayan mahal. Namun durian Cumasi juga disebut sebagai durian paling mahal dari Indonesia. Cumasi adalah singkatan dari Cuma Sikok atau Hanya Satu. Karena di setiap pongge hanya berisi satu biji, dengan daging yang tebal. Sehingga durian ini kecil saja.
Tentu setiap wilayah memiliki durian unggul, hanya saja belum banyak dikenal dan belum dicatat secara resmi atau mungkin sudah punah. Di Kampung Kadu Lumbir, Labuan, Pandeglang, misalnya, masyarakat setempat mengingat banyak jenis durian yang kini sudah punah karena tak dibiakkan. Dari nama kampungnya saja sudah jelas bahwa kampung ini merupakan endemik durian. Dalam Bahasa Sunda, durian adalah kadu. Lumbir adalah tanah miring atau berlereng dangkal, tepatnya tanah yang bergelombang. Mereka masih bisa mengingat nama-nama durian setempat seperti kadu kaleng, kadu bakul, dan kadu hejo. Namun ketiganya sudah tak ditemukan lagi.