Oleh : Teguh Firmansyah, Jurnalis Republika.co.oid
REPUBLIKA.CO.ID, Kebijakan 'nol Covid-19' di China telah memicu kegusaran bagi warga di negeri Tiongkok tersebut. Bagaimana tidak, pada saat negara lain, sudah mulai melakukan relaksasi, China-19 masih melakukan beragam pengetatan buat meredam penyebaran virus.
Pemerintah China seperti tak mau mengulangi lagi kejadian di Wuhan yang menjadi sumber awal penyebaran virus mematikan tersebut. Kebijakan lockdown hingga tes massal masih dijalankan.
Pengetatan-pengetatan ini yang dipersoalkan oleh banyak warga China sehingga mereka memberanikan diri untuk menggelar demonstrasi. Kericuhan pecah dari Urumqi yang terletak di barat laut Tiongkok hingga Shanghai yang berada di sisi timur. Di kota sebelah selatan Guangzhou kericuhan juga terjadi. Mereka satu suara menentang kebijakan 'nol Covid-19' yang tak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga efek sosial dan psikologis.
Kerusuhan di negeri Partai Komunis ini terbilang jarang terjadi. Apalagi di daerah-daerah di luar dari Xinjiang yang selama ini dianggap oleh otoritas Beijing sebagai wilayah dengan banyak extremis.
Oleh karena itu, demonstrasi di Shanghai, Guangzhou dan seumlah daerah lainnya merupakan sebuah peringatan nyata bagi pemerintahan Xi Jinping. Letupan kecil bila tidak disikapi dengan baik, maka bisa memicu kerusuhan sosial yang menyebar ke berbagai daerah lain.
Teringat kisah Mohamed Bouazizi, seorang pedagang buah dan sayur yang melakukan aksi bakar diri untuk memprotes korupsi di Tunisia. Aksinya yang viral akhirnya meruntuhkan rezim Ben Ali dan memicu Arab Spring di belahan jazirah Arab. Kerusuhan pecah dari Mesir hingga Libya.
China memang berbeda dibandingkan Arab. Cengkeraman Partai Komunis di bawah rezim Xi Jinping ini sangat kuat. Otoritas China sudah berpengalaman dalam meredam gejolak sosial. Yang paling fenomenal yakni tragedi di lapangan Tiananmen pada 1989. Militer Partai Komunis membersihkan gerakan demonstran yang diinisiasi mahasiswa dengan cepat.
Pun halnya dalam meredam gejolak yang terjadi di Xinjiang. Militer dan aparat keamanan mencegah agar tidak ada letupan-letupan yang bisa menyebar ke daerah lain.
Dalam meredam kerusuhan terbaru, otoritas China melakukan pengamanan ketat di kota-kota besar seperti Shanghai dan Beijing. Petugas memeriksa telepon genggam di jalanan kota Beijing untuk mengecek warga yang memiliki VPN dan aplikasi telegram. Dua perangkat itu digunakan oleh pengunjuk rasa untuk berkomunikasi.
China juga meliburkan dan memulangkan mahasiswa di Beijing dan Shanghai agar mereka tidak ikut terlibat dalam unjuk rasa. Gerakan-gerakan semacam ini yang akan terus dilakukan oleh otoritas China agar letupan demonstrasi tidak membesar.
Lantas apakah hal itu akan berhasil?
Satu hal kekuatan yang dimiliki rezim Komunis di China adalah mereka benar-benar menguasai arus lalu lintas informasi. Pun halnya media sosial diatur oleh pemerintah. Tidak ada Facebook atau pun Twitter yang bisa menggerakkan emosional massa dengan cepat.
Tapi bukan berarti gerakan massa tidak bisa membesar. Jika rezim Komunis tidak mau mengevaluasi kebijakan ketat 'nol Covid'-nya, maka rasa putus asa dan kebosanan yang memuncak bisa menjadi 'bom waktu' dan meledak kapan pun.
Apakah rezim Xi Jinping bisa tumbang? Spekulasi itu masih terlalu jauh. Kerusuhan memang bisa membesar dan meluas, tapi untuk menjatuhkan Xi maka butuh upaya yang lebih kuat.
Sampai saat ini belum ada satu sosok kuat di internal Partai Komunis yang bisa menyaingi Xi Jinping. Beberapa waktu lalu sempat muncul rumor bahwa Xi dikudeta dan berada di tahanan rumah. Namun pada faktanya Xi tetap bertahan. Isu itu hanya isapan jempol.
Dalam kongres Partai Komunis Oktober lalu, Xi terpilih lagi menjadi sekjen untuk masa jabatan lima tahun ketiga. Xi Jinping hanya akan tumbang, bila ada lawan politik yang kuat dan mendapat dukungan dari militer.