Sabtu 03 Dec 2022 11:02 WIB

LGBT, Kepongahan, dan Kehancuran Jerman

Arogansi Jerman membuat mereka angkat koper lebih cepat.

Suporter Qatar membawa poster eks gelandang timnas Jerman, Mesut Oezil saat laga antara Spanyol dan Jerman di grup E Piala Dunia 2022 di Stadion Al Bayt, Al Khor, Qatar, Senin (28/11/2022) dini hari WIB. Suporter mengangkat poster Oezil untuk menyindir para pemain timnas Jerman yang melakukan aksi tutup mulut untuk mendukung LGBT.
Foto: AP/Julio Cortez
Suporter Qatar membawa poster eks gelandang timnas Jerman, Mesut Oezil saat laga antara Spanyol dan Jerman di grup E Piala Dunia 2022 di Stadion Al Bayt, Al Khor, Qatar, Senin (28/11/2022) dini hari WIB. Suporter mengangkat poster Oezil untuk menyindir para pemain timnas Jerman yang melakukan aksi tutup mulut untuk mendukung LGBT.

Oleh : Mohammad Akbar, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Jerman tersingkir dari Piala Dunia 2022 pada fase grup. Sebuah kejutan? Rasanya, tidak! Kekalahan Jerman 1-2 dari Jepang pada laga pembuka Grup E itulah yang sesungguhnya menjadi kejutan terbesar buat der Panzer di Piala Dunia 2022.

Kegagalan Jerman ini bukanlah tanpa sebab. Mereka kalah akibat dirinya sendiri. Ahli strategi perang Sun Tzu pernah menyampaikan bahwa musuh paling besar manusia itu adalah dirinya sendiri dan kegagalan manusia itu adalah kesombongannya.

Pada Piala Dunia yang digelar untuk kali pertama di jazirah Arab ini, Jerman sudah mempertontonkan kesombongan itu sejak awal. Semuanya bermuara pada Jepang — sebuah negara Asia yang memegang prinsip hitozukuri yang mengedepankan pada aspek etika, moral dan kerja keras.

Sebagai negara yang telah melahirkan banyak teknokrat dan pemikir hebat, hal itu justru tidak tercermin pada skuad Jerman yang tampil di Piala Dunia kali ini. Berlabel deretan pemain bintang, Jerman telah gagal mengelola dirinya sebagai pesepak bola profesional.

Para pemain Jerman layaknya pemain tarkam yang tak memahami aturan sepak bola profesional. Mereka juga layaknya tamu yang tak memahami norma dan nilai yang ada di kampung orang. Jika ingin berucap vulgar dan kasar, para pemain Jerman itu seperti gerombolan orang yang tak berotak, arogan!

Secara aturan sepak bola, FIFA secara tegas melarang masuknya pandangan pribadi soal politik, agama, slogan pribadi, pernyataan atau gambar, atau iklan. Tapi aturan itu diterabas oleh Jerman ketika 11 pemain yang menjadi starting eleven berpose dengan menutup mulut ketika melakukan sesi foto resmi jelang kick off melawan Jepang.

Sikap tutup mulut itu ditunjukkan sebagai protes kepada Qatar yang melarang penggunaan armband pelangi One Love buat kapten timnas. Armband pelangi itu merupakan bentuk simbolis dukungan kepada komunitas Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer (LGBTQ) secara global. Qatar merupakan negara dengan populasi terbesar penganut agama Muslim. Dalam Islam, perilaku LGBTQ ini diharamkan.

Namun komunitas LGBTQ ini selalu berjuang dengan kedok kebebasan Hak Asasi Manusia (HAM). Umumnya, kelompok ini tumbuh subur di Eropa. Salah satu kampanye komunitas ini adalah kebebasan berekspresi buat perilaku seks sesama jenis.

Ekspresi sikap para pemain Jerman yang menolak aturan di negara Qatar itu layaknya tamu yang tak tahu diri. Mereka ingin memaksakan kehendak dirinya saja. Jadi sangat wajar kalau kemudian Jerman pada akhirnya angkat koper lebih awal dari pesta sepak bola paling bergengsi di jagat ini. Mungkin saja kegagalan skuad der Panzer itu akibat dikabulkannya doa penduduk Qatar yang merasa gundah dan jengkel dengan ulah negara tersebut.

Padahal, tidak hanya Jerman yang menyampaikan protes terkait dukungan pada komunitas LGBTQ. Ada tiga negara lainnya, yakni Inggris, Wales, dan Denmark. Tiga negara ini sempat juga menyampaikan protesnya kepada Qatar maupun FIFA. Namun ketiga negara itu tidak melakukan aksi norak layaknya para pemain Jerman saat berada di lapangan hijau.

Pengelolaan diri yang rendah itu juga ditunjukkan oleh individu pemain Jerman. Contoh ini, sekali lagi ditunjukkan saat melawan Jepang. Aksi Antonio Rudiger adalah contoh nyata bagaimana kesombongan para pemain Jerman diumbar di lapangan.

Pemain milik Real Madrid ini dinilai melecehkan pemain Jepang ketika aksi berlarinya yang berjingkat-jingkat. Saat itu, Jerman masih unggul 1-0 atas Jepang. Namun pada akhirnya Jerman kalah 1-2 dari Jepang.

Selain itu, dukungan gelap mata yang dilakukannya pada ‘komunitas bengkok’ itu juga ditunjukkan dengan ancamannya untuk keluar dari FIFA. Ternyata ancaman itu berujung pada keluarnya Jerman yang lebih awal pada gelaran Piala Dunia 2022. Kasihan!

Kegagalan Jerman ini juga menjadi aib yang bakal dikenang di dunia sepak bola dunia. Ini menjadi kegagalan kedua secara beruntun skuad Die Mannschaft tersingkir dari fase grup. Saat tampil di Piala Dunia 2018 Rusia, Jerman yang berada satu grup dengan Swedia, Meksiko, dan Korea Selatan, gagal lolos dari fase grup akibat kesombongannya juga.

Pada laga pembuka penyisihan grup, Jerman yang berstatus sebagai juara bertahan ternyata kalah secara mengejutkan dari Meksiko. Lalu, di laga penentuan di Piala Dunia 2018, Jerman dipulangkan oleh wakil Asia, Korea Selatan. Sementara pada Piala Dunia 2022, Jerman juga ditendang oleh wakil Asia lainnya, yakni Jepang.

Jepang menemani Spanyol untuk melaju ke babak 16 besar Piala Dunia 2022. Jepang secara mengejutkan mengalahkan Spanyol 2-1. Kemenangan Jepang itu menjadi kontroversi sekaligus membuka kisah lama Jerman saat melawan Inggris di Piala Dunia 2010.

Kedua proses gol yang dialami Jerman itu berbau kontroversi. Pada 2022, Jerman berada pada pihak yang dirugikan dari kontroversi gol. Sebelum gol kedua Jepang ke gawang Spanyol disahkan wasit, ada inidikasi bola assist dari Kaoru Mitoma sudah lebih dulu keluar garis lapangan di sisi kiri gawang. Namun wasit tetap mengesahkannya. Dengan kemenangan Jepang atas Spanyol itu maka kemenangan Jerman 4-2 atas Kosta Rika menjadi sia-sia. Jerman hanya bisa finis di peringkat tiga Grup E.

Sebaliknya saat tampil di Piala Dunia 2010, Jerman yang mendapatkan berkah dari kontroversi gol saat melawan Inggris. Wasit menganulir gol Frank Lampard. Melihat tayangan ulang, bola dari Lampard itu terindikasi sudah melewati garis yang seharusnya menjadi gol bagi Inggris. Namun, saat itu VAR belum digunakan dan wasit menganulirnya.  

Sesungguhnya, kegagalan yang dialami oleh Jerman ini telah menyisakan pelajaran kehidupan teramat penting. Semoga saja 16 tim yang tersisa di fase gugur Piala Dunia 2022 ini tidak tampil pongah layaknya Jerman.

Dalam seni berperang, Sun Tzu mengatakan,”Jika engkau tidak mengenal musuh dan tidak mengenal dirimu sendiri, maka kau akan kalah dalam setiap pertempuran.”

Tschüss, Jerman!

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement