REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan pengawas obat dan makanan AS (FDA) telah mencabut izin penggunaan darurat Bebtelovimab, obat yang sebelumnya diberikan kepada penderita Covid-19 yang menghadapi risiko tinggi alami penyakit parah. Ini artinya, tidak ada lagi perawatan antibodi monoklonal untuk Covid-19 yang tersedia di AS.
Selama dua tahun terakhir, FDA mengesahkan enam perawatan antibodi monoklonal untuk Covid-19, namun banyaknya subvarian omicron membuat obat tersebut kurang efektif sehingga FDA secara bertahap mencabut masing-masing otorisasi tersebut. Bebtelovimab, diproduksi oleh Eli Lilly, adalah yang terakhir.
Menurut pengumuman FDA, obat itu tidak lagi manjur untuk menetralkan subvarian omicron BQ.1 dan BQ.1.1 yang kini menjadi penyebab sebagian besar atau sekitar 62 persen infeksi baru yang tercatat di AS, menurut Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC). Kedua subvarian tersebut merupakan keturunan omicron BA.5.
"Masalah besarnya adalah antibodi monoklonal mengikat bagian yang sangat kecil dari virus. Saat virus berubah, kita sekarang berada dalam posisi di mana kita kehilangan semuanya karena tidak mengikat virus lagi," kata Dr Arturo Casadevall, seorang profesor kedokteran di Fakultas Kedokteran Johns Hopkins, seperti dilansir dari NBC, Senin (5/12/2022).
Paxlovid telah menjadi pengobatan pilihan bagi kelompok orang yang berisiko tinggi terkena Covid-19 parah, karena tetap efektif dalam menghadapi varian baru dan mudah diberikan. Ini adalah rangkaian tiga pil yang diminum dua kali sehari selama lima hari. Sebaliknya, Bebtelovimab adalah cairan infus yang pemberiannya memakan waktu sekitar satu jam.
Tetapi dokter sering merekomendasikan antibodi monoklonal untuk orang yang memakai obat imunosupresif tertentu, seperti pasien kanker atau penerima transplantasi. Sebab, Paxlovid dapat berinteraksi secara negatif dengan beberapa obat tersebut.
Dr Rodney Rohde, ketua Program Ilmu Laboratorium Klinis di Texas State University, mengaku khawatir tentang kemungkinan pasien yang mengalami gangguan kekebalan akan mengalami kesulitan dengan pilihan pengobatan yang lebih sedikit.
"Masih ada segmen populasi yang mungkin memiliki sedikit perlindungan, jika kita melihat angka kematian yang lebih tinggi atau keterisian rumah sakit yang tinggi," kata Rohde.
Pada musim semi, ketika subvarian omicron BA.2 dominan, penelitian dari Raymund Razonable, spesialis penyakit menular di Mayo Clinic menunjukkan bahwa Bebtelovimab sama efektifnya dengan Paxlovid dalam mencegah penyakit parah di antara pasien Covid-19 yang berisiko tinggi. Tapi, Razonable mengatakan rumah sakitnya beralih ke Paxlovid sebagai perawatan utama selama musim panas karena subvarian baru mulai menyebar.
Sekitar dua bulan lalu, lanjut dia, dokter mulai meminta pasien yang mendapat Bebtelovimab untuk melapor kembali jika gejalanya tidak kunjung membaik dalam satu atau dua hari. Pada saat FDA mencabut otorisasi pengobatan, Mayo Clinic telah berhenti meresepkannya karena dokter menganggap itu tidak lagi efektif melawan BQ.1 dan BQ.1.1.
Razonable mengatakan pasien Mayo Clinic yang berisiko tinggi terkena Covid parah tetapi tidak dapat mengonsumsi Paxlovid kini ditawari obat antivirus remdesivir. Tetapi infus remdesivir diberikan selama tiga hari, sehingga pasien memerlukan beberapa pertemuan dengan dokter.
Pilihan lain untuk orang dengan gangguan kekebalan adalah plasma konvalesen, yang berasal dari darah yang didonorkan pasien yang telah pulih dari Covid-19. Casadevall mengatakan plasma konvalesen adalah alternatif yang efektif untuk antibodi monoklonal, tetapi lebih rumit untuk dikelola dan diawasi.
"Ia memiliki ribuan antibodi yang berbeda, jadi plasma konvalesen memiliki banyak keluasan yang tidak ditemukan pada monoklonal," kata dia.