Oleh: Samsul Hadi*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Demokrat, Santoso, menunjuk hidung Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai pihak yang kecolongan atas terulangnya aksi terorisme di Indonesia, tepatnya di Mapolsek Astana Anyar, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (11/12/2022).
Selain menewaskan pelakunya peristiwa itu juga merenggut satu nyawa aparat kepolisian dan mengakibatkan 9 orang lainnya terluka.
Sejatinya terlalu naif hanya menyalahkan BNPT di peristiwa itu, meski tidak juga sepenuhnya salah. Ada kinerja lembaga itu yang patut dikritisi, tepatnya di program pencegahan.
Adagium yang berlaku terorisme merupakan musuh bersama yang tidak akan pernah tuntas apabila penanganannya hanya diserahkan kepada aparatur Negara, termasuk di dalamnya BNPT.
Dalam operasionalnya ada 3 kedeputian di tubuh BNPT, yaitu Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi, Penindakan dan Pembinaan Kemampuan, serta Kerja Sama Internasional.
Kinerja pencegahan terorisme terpusatkan di Kedeputian Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi yang terbagi dalam 3 direktorat, yaitu Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi. Direktorat Pencegahan BNPT sendiri membawahi 3 subdirektorat, yaitu Pemberdayaan Masyarakat, Kontrapropaganda, dan Pengawasan.
Selain terpusatkan di Direktorat Pencegahan upaya pencegahan terorisme di BNPT juga dijalankan di Direktorat Deradikalisasi, yang dalam operasionalnya dilaksanakan di dalam dan luar Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
Ada perbedaan mendasar pencegahan terorisme dia kedua kedirektoratan itu, yaitu pada sasarannya. Direktorat Pencegahan fokus pada upaya membentengi masyarakat yang belum terpapar radikalisme, sementara Deradikalisasi menjalankan tugas “menyembuhkan” kelompok rentan, mencakup mantan pelaku, keluarganya, maupun pihak-pihak yang terafiliasi di dalamnya.
Pemberdayaan masyarakat
Sebagaimana namanya upaya pencegahan terorisme oleh Subdirektorat Pemberdayaan Masyarakat Direktorat Pencegahan BNPT memang menjadikan masyarakat sebagai sasaran utama, tepatnya di langkah-langkah pembentengan.
BNPT ingin masyarakat yang belum terpapar radikalisme memiliki imunitas tambahan, sehingga apabila paham itu datang setiap saat bisa diantisipasi secara mandiri.
Programnya berisi penguatan nasionalisme, sosialisasi tips and trick pencegahan, hingga penguatan wawasan keagamaan yang mencegah terbentuknya eksklusifitas. Tidak hanya dalam bentuk kegiatan, pelibatan masyarakat ini juga dijalankan lewat penyebarluasan narasi positif di media massa dan media sosial.
Baca juga: Pernah Benci Islam hingga Pukul Seorang Muslim, Mualaf Eduardo Akhirnya Bersyahadat
Sayangnya beberapa kegiatan yang dilaksanakan BNPT dalam upaya pencegahan terorisme lewat pemberdayaan masyarakat selama ini terkesan seremonial belaka. Kita bisa amati dari apa yang dijalankan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT), lembaga non profit bentukan BNPT di 34 provinsi yang berisi perwakilan tokoh masyarakat.
Dari lima pembidangan pada kegiatan tersebut, yaitu Agama, Sosial dan Budaya, Pemuda dan Pendidikan, Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Media Massa, Hukum dan Humas, serta Penelitian dan Pengkajian, sasaran kepesertaannya cenderung “bermain di zona nyaman”.
Kegiatan yang dijalankan lewat bidang Media Massa, Hukum dan Humas FKPT misalnya, dalam tiga tahun terakhir menjadikan personel Babinsa dari unsur TNI, Bhabinkamtibmas dari unsur Polri dan perwakilan kelurahan sebagai peserta.
Para aparatur itu diberikan materi pentingnya literasi di era disrupsi informasi yang pada prosesnya diharapkan akan disebarluaskan ulang ke khalayak.