
Oleh : Erik Purnama Putra, Jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Sudah tujuh tahun lebih berlalu. Namun, pembangunan LRT Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi (Jabodebek) tak kunjung selesai. Padahal, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan peletakan batu pertama (ground breaking) proyek tersebut di seberang Taman Angrek Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur pada Rabu (9/9/2015). Proyek kereta ringan dicanangkan berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Kereta Api Ringan (LRT) Terintegrasi di Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi.
LTR Jabodebek memiliki tiga rute. Pertama, Cibubur-Cawang sepanjang 14,89 kilometer (km). Kedua, Cawang-Dukuh Atas 11,05 km. Ketiga, Cawang-Bekasi Timur 18,49 km. Proyek tersebut semula ditargetkan rampung sebelum 2019. Sayangnya, entah karena seretnya pendanaan akibat kontraktor yang mengerjakan adalah BUMN karya atau persoalan teknis lainnya, hingga membuat sampai akhir 2022, LRT Jabodebek tidak kunjung selesai.
Padahal, Menteri BUMN periode 2014-2019 Rini Soewandi menargetkan agar LRT Jabodebek bisa beroperasi pada akhir 2019. Sebelum masa jabatannya berakhir pada medio Oktober 2019, ia beberapa kali meninjau langsung Stasiun Cibubur untuk memeriksa kesiapan LRT Jabodebek beroperasi. Rini sepertinya ingin memiliki warisan (legacy) agar kereta ringan tersebut telah beroperasi ketika masa jabatannya usai.
Hal itu juga karena rangkaian kereta sudah dikirim PT Industri Kereta Api (Inka) sejak pertengahan 2019. PT Inka mengirim rangkaian sesuai dengan jadwal operasi LRT Jabodebek. Sayangnya, kini sudah tiga tahun lebih berlalu, pembangunan LRT Jabodebek belum juga tuntas.
Selain pembangunan stasiun, persoalan Depo LRT Jabodebek di Bekasi Timur, Jawa Barat, sepertinya juga menjadi masalah berlarut-larut. Belum lagi, sorotan pemasangan box girder yang terlihat kurang rapi. Dari berbagai foto yang beredar di media sosial, warganet mengamati jika pemasangan jalur LRT Jakarta terkesan tidak tersambung dengan baik, tidak simetris, dan ada jarak antarkolom.
Hal itu berbeda dengan pembangunan MRT Jakarta. Jika dibandingkan, ketika melihat jalur MRT Jakarta rute layang mulai kawasan Jalan Sisingamangaraja atau depan Masjid Al Azhar hingga Stasiun Lebak Bulus, beton yang terpasang sangat rapi. Semuanya simetris dan enak dipandang. Sangat terlihat jika pekerja yang mengawasi proyek MRT Jakarta benar-benar profesional.
Kembali ke masalah LRT Jabodebek. Jika diruntut, sebenarnya proyek ini lebih mudah dikerjakan daripada MRT Jakarta yang membelah permukiman dan perkantoran di tengah kepadatan Ibu Kota. Adapun semua rute LRT Jabodebek sebagian besar dibangun di tepi jalan tol. Baik Tol Jagorawi, Tol Japek, maupun Tol Dalam Kota, yang tidak memerlukan pembebasan lahan. Hal itu lantaran pada masa Orde Baru, penguasa saat itu Soeharto ketika membuat tol selalu menyisakan lahan luas di kiri dan kanan jalan.
Sehingga, ketika kontraktor memulai memasang tiang pancang LRT Jabodebek, mereka bisa langsung melakukannya. Karena semua lahan di tol milik PT Jasa Marga, yang notabene bagian dari BUMN. Dengan kemudahan itu, tetap saja proyek kereta ringan sangat molor dari target yang ditetapkan. Wakil Presiden M Jusuf Kalla (JK) sempat melontarkan kritik terkait biaya proyek LRT Jabodebek yang membengkak luar biasa.
Dia menganggap, hal itu terjadi karena pembangunan jalur layang di sepanjang tol. Seharusnya, rute LRT Jabodebek bisa dibangunan di atas tanah seperti kereta biasanya, untuk mengurangi biaya tidak efisien. Baru ketika memasuki dalam kota, jalur dibuat melayang. Dengan begitu, biaya pembangunan tidak boros. Namun, apa lacur. Pembangunan sudah berlangsung ketika JK menyampaikan gagasannya. Alhasil, proyek LRT Jabodebek dengan 17 stasiun menelan anggaran Rp 29,9 triliun. Angka itu terbilang besar hingga membebani BUMN karya.