Rabu 14 Dec 2022 06:02 WIB

Gerakan Pelangi, Jessica, dan Sikap Kita

LGBT telah bertransformasi dan berkolaborasi dengan para pendukungnya

Timnas Jerman bahkan terang-terangan menjadi pendukung LGBT.
Foto: DFB
Timnas Jerman bahkan terang-terangan menjadi pendukung LGBT.

Oleh : M. Nasir Djamil, Anggota Komisi Hukum DPR RI.

REPUBLIKA.CO.ID, Awal Desember lalu, umat beragama di Indonesia dikejutkan dengan berita rencana kedatangan utusan khusus Amerika Serikat untuk memajukan hak asasi manusia (HAM) LGBTQI+, Jessica Stern ke Indonesia. LGBTQI+ adalah singkatan  dari “Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan Queer”.  Kebanyakan orang pada umumnya menggunakan istilah LGBTQ+ yang mencakup komunitas lain dalam LGBT. Untung saja dua organisasi Islam terbesar dan berpengaruh yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) serta Majelis Ulama Indonesia menolak rencana kedatangan itu. “Dalam situasi sekarang ini, kunjungan Jessica sudah pasti akan menimbulkan kegaduhan dan potensi perpecahan kelompok yang pro dan kontra terhadap LGBT. Kalau alasannya membela HAM , Amerika Serikat seharusnya membela  rakyat Palestina yang HAM-nya diinjak-injak oleh Zionis Yahudi. Tapi Amerika Serikat hanya diam seribu bahasa,” ujar Sekretrais Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’thi.

Ada pula NU yang juga menyikapinya. “Kehadiran khusus utusan  Amerika Serikat bidang pemenuhan hak LGBT boleh saja dilakukan asal tidak melakukan kampanye LGBT di Indonesia. LGBT itu perilaku penyimpangan sosial yang tidak sesuai dengan moral, etika, agama dan nilai Ketuhanan yang dianut oleh umat beragama di Indonesia,” ujar Ahmad Fahrurrozi, Ketua PBNU.

Penolakan oleh MUI disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Anwar Abbas, yang menyatakan kedatangan Jessica dapat merusak agama dan budaya bangsa. “Indonesia tidak dapat menerima tamu yang tujuannya merusak dan mengacak-acak nilai luhur agama dan budaya anak negeri. Enam agama yang diakui di negeri ini tidak ada satu pun yang menoleransi praktik LGBTQI+ tersebut”, ujarnya.

Tentu saja kita berterima kasih kepada Muhammadiyah, NU dan MUI. Bayangkan jika ketiga organisasi itu tidak bereaksi. Saya yakin misi Jessica akan mulus. Begitupun,  kita patut mempertanyakan rencana kedatangan Jessica itu. Saya menduga Jessica datang ingin mempengaruhi Pemerintah Indonesia agar perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan disahkan oleh DPR RI dan Pemerintah ditunda pengesahannya. Dugaan ini bukan tanpa alasan. Saya masih ingat di penghujung periode 2014-2019, para Duta Besar Negara Eropa melakukan audiensi dengan Komisi III DPR RI. Saya yang ikut dalam pertemuan itu mendengar keberatan mereka terkait pasal-pasal yang mengatur delik kesusilaan dan sanksi atasnya. Intinya secara halus mereka menolak delik-delik kesusilaan itu. Karena itu, saya menduga mereka “ikut ambil bagian” mempengaruhi Pemerintah. Buktinya, perubahan KUHP  gagal dinaikkan dan disahkan dalam sidang paripurna DPR RI pada periode 2014-2019.

Tulisan ini tentu tidak ingin mengulas delik-delik kesusilaan yang diatur dalam RKHUP itu. Tidak dapat dibantah bahwa  delik-delik tersebut “mengancam” perilaku seks bebas dan penyimpangan orientasi seksual (baca: LGBT). Dan juga tidak membeberkan dampak LGBT dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan ketahanan nasional. Yang patut kita kritisi bahwa gerakan untuk “menghalalkan” perilaku LGBT di Indonesia telah dilakukan secara  terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Tujuan utama mereka adalah melegalkan pernikahan sesama jenis dengan cara merevisi UU Perkawinan. Tentu saja kita miris. Rusia yang mayoritas beragama Katolik ortodoks saja telah meloloskan RUU tentang larangan promosi gay. Pelanggarnya bahkan didenda Rp 100 juta.

Berawal di Jogjakarta

Doktor Adian Husain, pakar pendidikan dan juga intelektual muslim Indonesia, dalam pandangan tertulisnya di Mahkamah Konstitusi saat menjadi ahli dalam perkara Judicial Review untuk perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016. Uji materi itu berkenan dengan pasal 284, 285, dan 292 KUHP terkait soal perzinaan, pemerkosaan, dan pencabulan sesama jenis. Masih menurut Adian, pada tahun 2006, telah terjadi sebuah peristiwa penting di Indonesia, yakni berkumpulnya pakar-pakar HAM di Kota Jogyakarta. Mereka menghasilkan sebuah Piagam HAM yang bernama “The Jogyakarta Principles”.  Diantara isinya adalah “ semua manusia dilahirkan bebas dan setara dalam martabat dan hak. Semua hak asasi manusia bersifat universal, saling bergantung, tak terpisahkan, dan salin berkait. Orientasi seksual dan identitas gender merupakan bagian integral dari martabat dan kemanusiaan setiap orang dan tidak boleh menjadi dasar diskriminasi atau pelecehan”.

Prinsip Jogyakarta ini juga menjadi dasar Komnas HAM dalam mendorong terpenuhinya hak-hak kelompok LGBT oleh negara. Maka Komnas HAM menuntut agar pejabat publik berhenti memberi pernyataan-pernyataan negatif yang memicu timbulnya kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap kelompok LGBT, penegak hukum juga diminta tidak membiarkan tindak kekerasan yang dilakukan sekelompok orang kepada komunitas LGBT, dan media massa juga diharapkan memberitakan dengan seimbang yang tidak menimbulkan stigma dan kekerasan kepada komunitas LGBT.

Dalam konteks kemanusiaan, tentu siapapun dia patut dilindungi oleh negara dari potensi kejahatan atau kekerasan yang akan dialaminya. Termasuk komunitas LGBT. Tapi juga harus dicatat bahwa penyimpangan orientasi seksual itu adalah penyakit yang berpotensi menular. Karena itu perlu pembinaan secara moral dan medis agar orang tersebut menjadi kembali normal. Yang harus kita cegah adalah cara pandang dan gerakan kaum LGBT yang  yang TSM tersebut. Setahun sebelum lahir “The Jogyakarta Principles”, tepatnya tahun 2005, telah terbit sebuah buku yang berjudul “Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual”. Dalam buku itu ditulis strategi gerakan yang harus dilakukan untuk melegalkan perkawinan homoseksual di Indonesia. Di antaranya, melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan yang tidak memihak kepada kaum homoseksual, menyuarakan perubahan UU Perkawinan No 1/1974 yang mendefinisikan perkawinan harus antara laki-laki dan wanita, dan mengorganisir kaum homoseksual untuk bersatu  dan berjuang  merebut hak-haknya yang telah dirampas oleh negara.

Agenda dan Dana Global

Gerakan melegalkan pernikahan sesama jenis, baik itu gay atau lesbian, dan  mengubah alat kelamin serta perilaku seks bebas melibatkan semua kalangan yang pro dan berskala global. Bahkan di arena Piala Dunia 2022 di Qatar, pemaksaan simbol dan bahasa tubuh dukungan terhadap LGBT dilakukan sejumlah Timnas yang berlaga. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan LGBT tidak saja bermain di lembaga pendidikan, seni dan budaya, momentum olahraga juga digarap oleh mereka. Selama ini mungkin kita melihat gerakan penegakan hak-hak LGBT hanyalah sebuah gerakan kecil. Kelompok minoritas yang terpinggirkan. Kalah jumlah dan tidak terorganisasi dengan baik serta mengalami diskriminasi dan pelecehan.

Tapi itu dulu. Hari ini gerakan LGBT telah bertransformasi dan berkolaborasi dengan para pendukungnya dari berbagai kalangan. Baik agamawan, akademisi, aktivis, media massa terkemuka, profesional, pemimpin negara hingga konglomerat. Untuk yang terakhir ini, pada satu pertemuan tahun 2008 di Bellagio, Italia, 29 pemimpin internasional berkomitmen untuk memperluas filantropi guna mendukung hak-hak LGBT.  Dalam pertemuan tersebut, bersamaan dengan Stryker dan Ise Bosch, pendiri  Dreilinden Fund di Jerman, ada pula Michael O’Flaherty—salah satu pengusul The Jogyakarta Principles yang saya singgung di atas. Adapun Jon Stryker adalah cucu dari Hormer Stryker , seorang ahli ortopedi yang mendirikan Stryker Corporation.

Berbasis di Kalamazoo , Michigan, Stryker Corporation menjual perlengkapan bedah dan perangkat lunak senilai Rp. 210 triliun. Pada tahun  2018, Jon sang pewaris kekayaan adalah seorang gay. Tahun 2000 ia mendirikan Arcus Foundation, organisasi nirlaba yang melayani komunitas LGBT. Ia telah memberikan lebih dari Rp. 905 miliar untuk program  dan organisasi yang melakukan pekerjaan terkait LGBT. Hal itu membuat Jon Stryker menjadi salah satu penyandang dana LGBT terbesar di dunia. Stryker  memberikan lebih dari 30 juta dollar AS kepada Arcus sendiri selama tiga tahun melalui sahamnya di Stryker Medical Corporation.

Karikatural  di atas soal LGBT, Jessica dan sikap kita terhadapnya haruslah sama. Perilaku penyimpangan orientasi seksual harus diatasi dan diobati. Terhadap gerakan sistematis kaum LGBT yang ingin melegalkan “karakter” mereka tentu harus dicegah dengan tetap memperhatikan keseimbangan hukum. Sudah saatnya para tokoh agama bersatu padu mengantisipasi gerakan LGBT. Sebab kendala terbesar yang mereka hadapan adalah penafsiran agama. Karena itu, kaum LGBT berusaha menghadirkan penafsiran “baru” agar memberikan pengesahan terhadap LGBT. “Homosexuality in Islam: Critical Reflectionon Gay, Lesbian, and Transgender Muslim”. Ini adalah sebuah buku yang ditulis oleh Scott Siraj al-Haque Kugle. Isinya seruan untuk menghalalkan praktik LGBT. Indonesia sebagai negara yang Berketuhanan Yang Maha Esa tentu akan menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan “mengakui dan menghormati” hukum agama dan hukum adat atau hukum yang masih hidup di dalam masyarakat yang sejalan dengan Pancasila dan UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement