REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Doktor Ilmu Pertahanan, Hasto Kristiyanto, mengatakan perguruan tinggi di Indonesia sebaiknya memberi perhatian khusus bagaimana memastikan anak-anak Indonesia menguasai ilmu-ilmu dasar sejak pendidikan dasar.
Hal itu diungkap oleh Hasto saat berbicara dalam seminar ilmiah dosen dalam rangka dies natalies Universitas Sanata Dharma (Sadar) Yogyakarta, dalam keterangan persnya, Jumat (16/12/2022).
“Perguruan Tinggi sebagai salah satu motor penggerak kemajuan. Perguruan Tinggi menjadi pelopor tindakan yang bersifat progresif revolusioner dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu dasar dan memperkuat budaya literasj, numerasi, sains dan teknologi melalui riset dan inovasi yang berpihak pada kemajuan bangsa,” kata Hasto.
Di seminar itu, Hasto menyampaikan penjelasan mengenai geopolitik Soekarno, yang menjadi hasil penelitian dan disertasinya. Hasto juga menyampaikan, studinya menemukan bahwa salah satu varian terpenting kemajuan Indonesia adalah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Dan dari ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, faktor yang paling penting adalah pendidikan itu sendiri. Maka tak ada negara maju tanpa memperkuat kemajuan dalam dunia pendidikan. Ini yang harus merubah seluruh cara pandang dalam merancang kebijakan negara. Termasuk para politisi tentang pentingnya pendidikan sebagai akselerasi yang paling mungkin dalam kemajuan bangsa,” urai Hasto.
Selanjutnya adalah city of intelect, yakni tentang suatu koridor strategis, penataan kampus-kampus atas dasar potensi wilayah yang ada.
Hasto lalu memberi contoh soal bagaimana Bung Karno merancang koridor strategis itu. Kalimantan dirancang sebagai pusat pemerintahan dan kekuatan Angkatan udara. Dan sumber daya alamnya tak boleh disentuh karena hutan di Kalimantan merupakan paru-paru dunia.
“Maka pada masa akhir beliau mengatakan kepada Pak Sidarto Danusubroto agar jangan sekali-kali hutan Indonesia ditebang karena itulah paru paru dunia. Suatu kesadaran tentang ekologi di Kalimantan tengah tersebut,” urainya.
“Maka ibukota negara dipindahkan dalam pertimbangan geopolitik dan sekaligus untuk menjaga kelestarian ekologi di Kalimantan tersebut, selain posisi strategis sebagai sentralnya Indonesia melalui pendekatan Indonesia Sentris,” tambahnya.
Lalu Pulau Jawa dirancang sebagai pusat riset, pengembangan Iptek, dan kekuatan Angkatan Darat. Dan ITB sebagai pusat pengembangan teknologi industri, teknologi militer, teknologi angkasa luar. Pusat pertanian dipindahkan ke Sulawesi dalam koridor strategis. Lalu Universitas Pattimura di Maluku itu sebagai pusat pengembangan oseonografi terbesar dunia.
“Jadi penataan penataan kampus oleh Bung Karno disebut city of intelect, itu berdasarkan koridor strategis. Sekarang kita jangankan melihat geopolitik, aspek geographical constellation pun jarang kita lihat. Kita tak pernah melihat bagaimana konsepsi pembangunan berdasarkan alur utama dalam sistem perdagangan dunia,” kata Hasto.
Jika geopolitik Soekarno digunakan, kata Hasto, jika ibukota negara sudah dipindahkan ke Kalimantan, maka nanti selat Lombok, Selat Sunda, selat Kalimantan, dan Selat Makasar akan menjadi semakin vital.
“Sehingga pembangunan konektografi Indonesia harus dirancang berdasarkan peta geostrategis dan geoekonomis tersebut. Kita sering melupakan itu,” kata Hasto.
Hasto menekankan pentingnya perguruan tinggi memberikan konsentrasi pada pembangunan manusia Indonesia berdasarkan potensinya, yakni pertanian dan maritim.
“Setiap datang ke perguruan tinggi, saya tanya mana yang punya fungsi maritim? Mana yang pernah terjun ke laut untuk merasakan bahwa Indonesia negara maritim terbesar, Negara kepulauan terbesar di dunia? Yang kata Bung Karno kita adalah negara kelautan yang ditebari pulau pulau. Kita bukan negara kontinental. Inilah pentingnya city of intelecct dan menguasai ilmu dasar,” kata Hasto.
Hasto bahkan sampai bercanda, bahwa kampus seharusnya mendorong perubahan di dunia politik, bahwa setiap yang ingin terjun ke politik wajib memiliki kepemimpinan intelektual melalui tradisi akademis yang matang.
“Maka kalau ada yang mau masuk politik kuasai kepemimpinan intelektual dulu. Ini menjadi sangat penting,” imbuhnya.
Hasto mengaku dirinya justru khawatir ketika menemukan ada perguruan tinggi hanya menjadi persemaian ideologi radikalisme, ideologi yang sifatnya menutup diri dari ilmu pengetahuan.
“Tapi agama juga gereja terbukti terus mengarungi kesempurnaan dengan melihat dari kemajuan ilmu dan teknologi yang seharusnya semua tepat dilandaskan pada nilai nilai moral, etika dan ilmu harus berguna bagi kemanusiaan. Itu yang harus dilakukan,” tandasnya.