REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aktivis tuli sekaligus tutor parakerja Muhammad Andika Panji mengajak masyarakat untuk mengenali dan memahami tentang budaya tuli. Budaya tersebut mulai dari panggilan isyarat hingga kebutuhan visualisasi bagi teman tuli dalam berkomunikasi.
"Tuli ini adalah sebuah identitas dan budaya bagi kami. Masyarakat tuli lebih nyaman untuk dipanggil 'tuli', tapi kebanyakan ada beberapa yang masih menggunakan kata tunarungu," kata Panji melalui penerjemah bahasa isyarat dalam media gathering di Jakarta, Kamis (15/12/2022).
Panji menjelaskan bahwa penggunaan kata "tunarungu" merupakan perspektif medis atau kedokteran. Dia juga mengatakan bahwa kata "tuli" hingga saat ini memang belum digunakan secara resmi di dalam undang-undang sehingga komunitas tuli masih memperjuangkan kata tersebut untuk masuk di dalam undang-undang.
Panji pun berharap masyarakat bisa menghormati, mengakui, dan melindungi teman-teman disabilitas, termasuk juga teman tuli.
"Saat saya sudah jadi advokat, itu mungkin bisa jadi bahan untuk mengadvokasi pemerintah dan yang lain karena itu termasuk ke dalam hal teman-teman tuli juga untuk dalam penyebutannya," kata Panji yang merupakan lulusan Fakultas Hukum itu.
Panji juga mengingatkan bahwa disabilitas tuli sebetulnya bervariasi. Beberapa teman tuli yang total menggunakan bahasa isyarat sebagai cara berkomunikasi. Beberapa yang lain ada pula tuli separuh, tuli yang menggunakan implan, serta tuli yang bisa berbicara secara verbal.
Panji menjelaskan bahwa bahasa isyarat yang digunakan masyarakat tuli di Indonesia, yaitu Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo). Bahasa isyarat ini, kata dia, dibuat dengan melibatkan komunitas tuli secara langsung dan berdasarkan riset.
Sementara itu, ada pula Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI). Menurut Panji, perumusan SIBI tanpa melibatkan komunitas tuli dan hanya mengadaptasi dari Bahasa Isyarat Amerika (ASL) atau Bahasa Inggris Bertanda Tepat (SEE-II).
Ketika masyarakat umum hendak mempelajari bahasa isyarat, Panji mengatakan sebaiknya mempelajarinya secara langsung dengan komunitas tuli dan bukan dengan orang dengan pendengaran normal. Ini penting menghindari kesalahpahaman.
"Kenapa sih kalau belajar harus belajar sama teman-teman tuli langsung? Karena termasuk ke dalam budaya tuli, dan bahasa ibunya dari teman tuli," ujar Panji.
Dalam budaya tuli, Panji mengatakan tak perlu heran ketika komunitas tuli mengobrol saat makan karena mereka tidak menggunakan gerakan mulut dalam berbahasa isyarat. Dalam budaya tuli pula, Panji mengatakan, biasanya seseorang memiliki panggilan isyarat tertentu yang menjadi ciri khasnya.