Jumat 16 Dec 2022 20:43 WIB

Dorong Kemajuan, Perguruan Tinggi Diminta Ambil Peran Bangun Kepemimpinan Intelektual

Peringkat pendidikan Indonesia jauh tertinggal dari negara lain.

Calon mahasiswa perguruan tinggi (ilustrasi)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Calon mahasiswa perguruan tinggi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Doktor Ilmu Pertahanan, Hasto Kristiyanto, menyatakan ada otokritik terhadap dunia pendidikan, karena seakan ada jarak (gap) antara pendidikan dengan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh bangsa dan negara untuk maju. Hal itu diungkap oleh Hasto saat berbicara dalam seminar ilmiah dosen dalam rangka dies natalies Universitas Sanata Dharma (Sadar) Yogyakarta, pada  Jumat (16/12/2022).

“Perguruan tinggi sebagai otokritik sepertinya ada gap dengan apa yang dibutuhkan bangsa dan negara bagi kemajuan kita. Padahal pengusaan iptek dan riset dan inovasi sangat penting,” tutur Hasto di hadapan ratusan dosen dan sivitas akademika Sadar yang dipimpin Rektor Albertus Bagus Laksana SJ.

Baca Juga

Hasto lalu menguraikan kondisi pendidikan saat ini. Kata Hasto, sebenarnya para Founding Fathers Indonesia sudah merumuskan bahwa politik pendidikan adalah mencerdaskan kehidipan bangsa. Dimana dengan itu kita memajukan kesejahteraan umum, dan dengannya kita mampu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Selanjutnya kita punya tanggung jawab eksternal melibatkan diri dalam upaya membangun ketertiban dunia berdasarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, kemerdekaan, keadilan sosial untuk mewujudkan perdamaian abadi. 

Namun kenyataannya, menurut Hasto, semua diskursus saat ini lebih asyik bicara soal calon presiden. 

"Kini setiap orang bicara soal calon presiden, seakan-akan satu minggu ke depan akan ada pemilu. Semua berbicara elektoral tapi melupakan persoalan fundamental bangsa yang berkaitan dengan mencerdaskan kehidupan bangsa," kata Hasto.

Faktanya, lanjutnya, peringkat pendidikan Indonesia jauh tertinggal dari negara lain. Bahkan tertinggal dari Malaysia, yang di masa lalu justru banyak meminjam guru dari Indonesia. Hasil riset juga menemukan bahwa IQ rata-rata orang Indonesia kalah dari orang Filipina, Laos, dan Kamboja.

Indonesia juga masih menghadapi stunting, yang ironisnya terjadi di Nusantara yang kaya dengan sumber makanan bergizi. 

“Zaman Pak Harto makan sayur-sayuran jagung dikatakan miskin padahal itu komponen gizi cukup besar. Daun kelor hanya dianggap pagar mengusir genderuwo padahal orang Australia iri melihat kita daun kelor dengan keragaman vitamin luar biasa,” urai Hasto.

“Masalahnya apa? Sedikit ilmuwan meneliti sumber- sumber pangan, sumber protein dan jamu-jamuan kita untuk memajukan kesejahtetaan umum dengan cara berdiri di atas kaki sendiri,” tegas Hasto.

Dia lalu menceritakan bagaimana suatu hari dirinya dipanggil oleh Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri. Megawati ingin menyampaikan tentang seorang investor Perancis yang menyewa lahan di Sleman. Lalu dengan kultur jaringan, dia kembangkan seluruh benih bambu di Indonesia. Hasilnya, setiap 4 bulan sekali, diekspor ke 4 benua. 

“Bu Mega mengatakan kemana dunia pendidikan kita, kenapa harus orang asing? Bukan saya anti asing, tapi masak untuk mengembangkan teknologi terapan Kuktur Jaringan yang relatif sudah sangat lama, tapi bisa membuat orang Prancis survive dari hanya mengelola bambu?” kata Hasto.

Kondisi saat ini, lanjut Hasto, adalah terjadi serbuan asing ke Indonesia. Dimana perusahaan-perusahaan besar melakulan outsourcing dan terjadi capital outflow dan juga human capital outflow. “Terjadi upaya untuk menyedot human capital terbaik dilakukan korporasi besar, terjadi kolonialisme dagang,” ujar Hasto. 

Atas dasar hal tersebut, perguruan tinggi harus terdepan membangun kepemimpinan intelektual dan membumikannya serta mendorong arah kemajuan bagi masa depan melalui penguasaan iptek, riset dan inovasi yang membumi bagi kemajuan negeri.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement