Oleh: Deri Adlis, SHI. Mubaligh Kepuluan Anambas
Berkali-kali dalam Al-qur’an menjelaskan tentang hukum pembalasan ini. Siapapun yang selalu berbuat baik dalam hidupnya, entah pada dirinya atau kepada orang lain, baik dalam bentuk sedekah, infak wakaf dan lain sebagainya, pasti akan diberi balasan yang sempurna atau lebih banyak. Seperti disebutkan dalam surah Ibrahim ayat 7, al-qur’an menegaskan, jika engkau bersyukur, pasti kami tambah (nikmatku) kepadamu. Syukur adalah upaya manusia untuk berbuat baik kepada dirinya.
Dalam surat al-Muzammil ayat 20 Allah juga firmankan :
وَمَا تُقَدِّمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللّٰهِ ۙهُوَ خَيْرًا وَّاَعْظَمَ اَجْرًاۗ وَاسْتَغْفِرُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ࣖ
dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai Balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Muzammil : 20)
Dalam surat An-Nahl ayat 97 Allah juga berfirman :
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.(QS. An-Nahl ayat 97)
Jadi sangat jelas, bahwa ayat- ayat Allah yang telah disebutkan diatas memiliki inti dan pemahaman yang sama yaitu yaitu laki-laki dan perempuan yang berbuat baik, dalam keadaan beriman akan diberi balasan berupa kehidupan yang baik. Memang logika kita mungkin tidak bisa mendetailkan apa itu kehidupan yang baik. Tapi persaan naluriyah kita bisa dan sudah mengetahuinya. Bahkan, kebaikan sebesar ato, sekalipun tetap diperhitungkan nilai kebaikannya yang bakal dibalasi.
فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ ٧ وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula. (QS. Al-Zalzalah :7-8)
Meski sedemikian detail Al-Qur’an menegaskan dan menjelaskan cara kerja pembalasan itu, tapi kenyataanya di dunia ini, yang Al-Qur’an disebut penuh tipu daya,kerap menutar balikan hati. Hal ini tebukti, masih sering muncul pertanyaan –pertanyaan dalam hati kita, kapan kebaikan ini di balas? Dari dulu sampai sekarang kehidupan saya masih itu ke itu saja tanpa adanya perubahan sedikitpun, Apa kesalahan saya ? Apa dosa saya ? dan Apa kekurangan saya ? dari pertanyaan tersebut, maka sering muncullah sebuah kesimpulan dalam hati kita seolah-seolah kebaikan yang kita kerjakan selama ini bernilai nihil, sehinga ada sebagian kita yang kapok berbuat baik karena merasa perbuatan tersebut akan mendatangkan malapetaka.
Tiga Hal Yang Mesti dicermati
An. Ubaedy dalam bukunya Hikmah Bersedekah menuliskan dalam memahami cara kerja pebalasan Allah ada tiga hal yang mesti dicermati :
Pertama, kepastian pasal-pasal dalam hukum itu tidak cukup kita ketahui. Kepastian ini membutuhkan rasa keimanan, maksudnya melakukan sesuatu yang didasari oleh kebenaran yang kita imani, bukan iman di mulut atau sebatas label keyakinan saja. Semua orng yang telah berhasil merealisasikan gagasan luhurnya di dunia ini, pasti punya keimanan seperti itu.
Mereka yakin apa yang dilakukannya benar dan yakin bahwa balasan itu pasti. Bahwa ada yang menyebutnya itu keimanan atau tidak, ini hanya soal istilah. Bahwa ada yang mengetahui atau ada yang tidak menyadarinya, ini soal pengetahuan. Intinya, mereka telah menjalankan. Buktinya, mereka tidak berputus asa atau menyerah atau kalah ketikah menghadapi realitas hidup yang brutal.
Kedua, meskipun kepastiannya sudah pasti, namun kepastian itu tidak sama seperti kepastian dalam ilmu pasti. Seperti dua ditambah dua sama dengan empat. Empat inipun harus sekarang juga. Kepastiannya lebih tepat untuk disebut dengan istilah ‘seni’. Maksundnya jika seseorang itu berbuat baik atau tidak baik, perbuatannya pasti akan dibalas. Jika seseorang akan mengusahakan sesuatu pasti aka nada hasilnya.
Cuman, kapan pembalasan itu datang dan darimana pintunnya, serta caranya bagaimana, atau dalam bentuk apa, ini yang semua manusia tidak diberikan hak untuk menentukan seluruhnya. Ada yang sudah bisa kita prediksi menurut hukum yang berlaku dalam muamalah antar manusia, tetapi ada yang tidak. Ada yang diberi melalui jalan yang kita inginkan, tetapi ada juga yang tidak. Ada yang dibalas langsung dan seketika, tetapi ada juga yang tidak. Ada yang dibalas langsung ke pelakunya, tetapi ada yang di balas melalui keluarganya. Begitu seterusnya dan seterusnya.
Meski Allah tidak memberikan hak kepada kita untuk mengetahui kapan balasan kebaikan yang kita lakukan, kita mesti tetap berbuat baik kepada siapapun. Kita jangan sampai termakan bujuk rayu syaitan untuk kapok berbuat baik hanya gara-gara kebaikan yang kita lakukan dibalas dengan air tuba. Yakinlah, kalau kita tidak mendapat kebaikan dari orang yang kita tolong, Allah telah menyiapkan perantara orang yang akan menjadi perantara pembalasannya, atau cara lain yang lebih baik yang sudah disiapkn untuk membalas kebaikan kita. Karena tidak kebaikan kecuali dibalas dengan kabaikan pula.
Allah berfirman :
هَلْ جَزَآءُ الْإِحْسٰنِ إِلَّا الْإِحْسٰنُ
tidak ada Balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).(QS. Ar-Rahman : 60)
Namun kita tentu saja tetap membutuhkan akal sehat untuk menyeleksi. Kalau kita tetap berbuat baik kepada orang yang sudah jelas-jelas merugikan atau mencelakakan, memang kebaikan itu tetap sebuah kebaikan. Cuma itu mengandung kebodohan dan kelemahan.
Ketiga , sangat halus. Balasan itu jarang diberikan secara “hard” (kasat mata ), kecuali untuk hal-hal yang ada di level realitas empiris –visibel (alam syahadah) yang sudah diketahui semua orang. Untuk hal-hal yang tidak visible, balasan itu diberikan secara halus. Kalau ada seseorang yang berhasil menutupi kejahatannya dengan system, tidak berarti dia lolos dari jeratan hukum pembalasan. Balasannya tetap ada, namun sangat halus dan bahkan tidak terasa tanda-tandanya.
أَفَأَمِنُوا۟ مَكْرَ ٱللَّهِ ۚ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ ٱللَّهِ إِلَّا ٱلْقَوْمُ ٱلْخَٰسِرُونَ
Maka Apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (QS. Al-Araf :99)
An. Ubaedy dalam bukunya Hikmah Bersedekah, juga mencontohkan seperti seorang direktur besar di Jakarta yang pernah mengkalkulasikan kejahatannya dengan angka. Menurut perhitungan sang Direktur tersebut, nilai kejahatannya itu kalau dihitung dari uang yang dia dapatkan mencapai sekian ratus juta. Angka itu ternyata hampir sama dengan jumlah harta yang hilang dibengkelnya yang bangkrut. Insaflah bapak itu kemudian. Hal ini merupakan refleksi subyektif, tapi kalau kita lihat dan pahami dari hadis Nabi, dasarnya cukup kuat
وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَجْزِيٌّ بِهِ.
“ wa’mal maasyi’ta fainnaka madjzhiibih .
Lakukanlah sesuai yang engkau kehendaki, sesungguhnya engkau akan dibalas dengan perbuatanmu tersebut (HR. Al-Hakim)
Dengan memahami cara kerja hukum pembalasan Allah ini, batin kita menjadi lebih kuat untuk barsabar. Tidak mudah terkecoh oleh tipuan realitas, tipuan dan bujuk rayu syetan serta hawa nafsu. Tentu saja, semua itu setelah diperhitungkan berat timbangan kebaikan dan kejahatan. Kalau kajahatan lebih berat ketimbangan kabaikan, maka balasan yang kita terima lebih banyak negatifnya. Sebaliknya, kalau timbangan kabaikan kita jauh lebih berat, tentu balasan yang diterima sering yang positifnya.