REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Manusia menyukai atau menyayangi sebagian spesies hewan sebagai sahabat, tetapi tidak ragu membunuh atau menyantap sebagian yang lain. Hal itu menjadi hal yang dieksplorasi oleh para ilmuwan dalam disiplin ilmu baru bernama anthrozoologi.
Fokus utamanya adalah mengkaji gagasan manusia tentang moralitas dan pola konsumsi yang membentuk interaksi antara manusia dan hewan. Misalnya, seseorang mungkin percaya membunuh salah satu jenis hewan untuk diambil bulunya adalah bentuk penyiksaan.
Pada saat yang sama, manusia tidak ragu memancing, menyantap hidangan hewani, atau mendukung penelitian pembedahan untuk tujuan medis. Semua itu merupakan wujud sikap bias dan tidak konsisten dari manusia tentang hewan secara umum.
Sebuah studi berusaha lebih memahami hubungan yang rumit tersebut. Para ilmuwan yang terlibat dalam penelitian berasal dari Universitas James Cook di Singapura dan Universitas James Cook di Australia, yang merancang sebuah kuesioner daring.
Mereka menganalisis persepsi para peserta terhadap 16 hewan yang dikenal secara umum. Ada harimau, lumba-lumba, anjing, kuda, orangutan, sapi, babi, ayam, domba, tuna, udang, gurita, buaya, kelinci, hiu, dan katak. Survei didasarkan pada Stereotype Content Model (SCM) yang menyoroti bidang psikologi sosial.
Peserta survei direkrut dari tiga sumber. Sebanyak 42 orang adalah anggota Vegetarian Society of Singapore, 76 orang adalah anggota Animals Concerns Research and Education Society (ACRES) of Singapore, dan 205 lainnya adalah mahasiswa yang terdaftar di universitas swasta di Singapura.
Usia rata-rata peserta survei adalah 26 tahun, terdiri dari beragam etnis dan memiliki agama berlainan. Para peneliti mengidentifikasi vegetarian dan aktivis sebagai 'absolutis', di mana segala sesuatunya benar atau salah, terlepas dari konteksnya.