Senin 26 Dec 2022 09:22 WIB

Ridwan Saidi Dalam Kenangan

Wafatnya Ridwan Saidi adalah kehilangan bagi bangsa Indonesia

Red: Christiyaningsih
Ridwann Saidi: Sejarawan, Budayawan Betawi.
Foto: RIDWAN SAIDI
Ridwann Saidi: Sejarawan, Budayawan Betawi.

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki*

 

Baca Juga

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Saya masih berada di Cianjur, Jawa Barat ketika membaca pesan di sebuah grup WA tentang wafatnya orang yang saya tuakan, mentor sekaligus sahabat, Babe Dato Ridwan Saidi pada Ahad, 25 Desember 2022 pukul 08.35 WIB di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) Bintaro Jaya, Jakarta Selatan karena pendarahan batang otak dan dimakamkan sore harinya di TPU Karet Bivak Blok AA1 Blad 035.  

Wafatnya beliau adalah kehilangan bagi bangsa Indonesia karena saya yakin hampir semua orang di Indonesia mengenal sosok Babe Ridwan Saidi. Sebab  beliau kerap muncul di acara-acara TV nasional seperti menjadi narasumber di acara Indonesia Lawyers Club (ILC) TV One dengan ucapan dialek Betawi yang khas beliau dan argumen-argumen segarnya yang  berbasis sejarah.

Ini menjadikan beliau sebagai sedikit dari orang Betawi yang dikenal di tingkat nasional. Dan sepertinya, menuurut saya, sulit akan muncul lagi orang yang memiliki kapasitas seperti beliau dari suku Betawi dengan banyak status dan kepakaran, yaitu sebagai organisatoris, politisi, budayawan, sejarawan, pelukis, penyanyi, intelektual Islami, dan pengamat politik.

Karenanya, dengan banyaknya status dan kepakaran yang beliau sandang serta dalam kiprah beliau dalam rentang waktu yang panjang dalam umurnya yang melebihi umur dari negara Indonesia ini, maka menulis tentang diri beliau dalam sebuah artikel tidaklah mudah karena memerlukan banyak waktu dan halaman. Namun, sekiranya, saya mencoba untuk membuat tulisan tentang beliau yang walau tidak lengkap namun bisa memberikan gambaran  untuk mengenang beliau. 

Nama lengkap beliau adalah Ridwan Saidi bin Abdurrahim bin Sa'idi. Beliau lahir di Gang Arab, Sawah Besar (Sao Besar),Batavia Centrum atau Betawi Tengah (Jakarta Pusat sekarang). Dari scan KTP yang beliau kirim ke saya via WA tertera lahir di Jakarta, 2 Juli 1942. Beliau anak keempat dari pasangan Abdurrahim dan Muhaya dan merupakan satu-satunya anak laki-laki dari tiga saudara kandungnya; Rogaya, Aisyah, dan Sahla.

Ayah beliau, Abdurrahim, adalah pimpinan organisasi Persatuan Islam (Persis), Sawah Besar. Mengenai kehidupan masa kanak-kanaknya yang membentuk kepribadian diri beliau, dapat diketahui dari tulisan beliau sendiri.

”Terdapat sebuah masjid bernama An Nur di dekat rumah saya, yang didirikan pada tahun 1926 oleh Haji Tabri Thamrin, ayah dari Muhammad Husni Thamrin. Sama dengan masyarakat Betawi lainnya, masjid merupakan pusat kegiatan anak–anak. Kami, anak–anak bermain di masjid sepanjang siang. Kami pergi ke pengajian pada pagi hari yang diselenggarakan di masjid. Amat umum untuk anak Betawi disekolahkan ke pengajian sebelum mereka masuk sekolah umum. Nenek saya mengantar saya ke engkong Musa, Imam masjid, untuk ikut dalam pengajiannya. Murid–muridnya semua temen saya, membuat saya merasa ada di rumah. Kami belajar membaca Alquran dan belajar sembahyang. Bayarannya secara sukarela. Wajah engkong Musa masih tertanam amat dalam di ingatan saya, laki-laki tua yang kuat, yang melakukan pekerjaannya secara ikhlas. Ketika kami berumur sepuluh tahun, pengajian mengambil tempat di rumah engkong Musa yang dilakukan malam hari. Setelah pengajian selesai, kami bermain di halaman masjid. Saya menyadari kemudian, bahwa atmosfir keagamaan inilah yang membentuk kepribadian saya.” (Saidi, 1986). 

Untuk pendidikan setelah tamat SMA, beliau menempuh jenjang perkuliahan di Fakultas Publistik, Universitas Padjajaran pada tahun 1962-1963. Namun, beliau tidak menyelesaikan jejang pendidikannya di Fakultas Publistik tersebut. Ridwan Saidi kemudian pindah untuk menuntut kuliah di Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (sekarang dikenal sebagai FISIP) di Universitas Indonesia (UI) pada tahun 1963-1976

Ketika kuliah, Ridwan Saidi juga aktif dalam kegiatan kemahasiswaan. Ia pernah menjadi Kepala Staf Batalion Soeprapto Resimen Mahasiswa Arief Rahman Hakim pada 1966. Setelah itu, pada tahun 1973-1975 beliau menjadi Sekretaris Jendral Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara. Pada tahun 1974-1976, beliau menjadi Ketua Umum PB HMI.

Ridwan Saidi kemudian menikah dengan seorang wanita kelahiran Minang, Sumatra Barat bernama Yahma Wisnani pada tahun 1977. Mereka dikaruniai lima orang anak yakni Syarifah Jihan Marina, Syarif Razvi, Rifat Najmi, Ferhat Afkar, dan Shahin Maulana.

Dalam perkembangannya kemudian, Babe Ridwan Saidi berkecimpung ke kelompok partai dan menjadi anggota DPR RI  dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 1977-1982 dan 1982-1987. Di DPR RI, Ridwan sempat menduduki kursi Wakil Ketua Komisi APBN (1977-1978) dan setelah itu dia konsisten menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi X yang membidang lingkungan hidup dan ilmu pengetahuan sejak 1978-1987.[ 

Usai jabatannya di DPR berakhir, pada tahun 1995 hingga tahun 2003, Babe Ridwan Saidi menjadi Ketua Umum Partai Masyumi Baru. Beliau juga  juga pernah aktif dalam kegiatan Muktamar Rakyat Islam se-Dunia di Irak pada tahun 1993. Selain itu, Ridwan Saidi juga pernah aktif pada Festival Budaya Babylonian (Babylonian Cultural Festival) di Irak pada tahun 1994. Pada tahun 2003, Ridwan Saidi kemudian menjadi Ketua Steering Committee Kongres Kebudayaan. Ia juga pernah menjadi Ketua Komite Waspada Komunisme dan menjadi ketua dan pendiri Yayasan Renaissance pada tahun 2013. 

Baca juga : Ridwan Saidi, Lolos dari Orde Baru, Tetap Lantang pada Penguasa

Karya tulis cetak Babe Ridwan Saidi begitu banyak, terutama di bidang politik dan kebudayaan. Beberapa di antaranya adalah Golkar Pasca pemilu 1992 yang terbit pada tahun 1993; Anak Betawi Diburu Intel Yahudi yang diterbitkan pada tahun 1996; Profil Orang Betawi: Asal muasal, kebudayaan, dan adat istiadatnya yang diterbitkan pada tahun 1997; Sekitar Tuntutan Rakyat Kembali ke UUD 1945", Orasi Dalam Acara Memorandum Kembali kepada UUD 1945 oleh: Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu yang diterbitkan oleh Indonesia Berhimpun pada tahun 2006; Status Piagam Jakarta: Tinjauan hukum dan sejarah pada tahun 2009; Aku HMI: Narasi Ridwan Saidi, yang diterbitkan pada Yayasan Renaissance tahun 2015; Golok Wa Item: Sejarah Power System Sunda Kalapa yang diterbitkan Yayasan Renaissance pada tahun 2015.

Ada pula Khazanah Tatar Sunda: Tinjauan Historis yang diterbitkan oleh CV Trinanda pada tahun 2016; Si Manalagi: Narasi Epos Betawi yang diterbitkan oleh Yayasan Renaissance pada tahun 2016; Facta Documenta Jakarta yang diterbitkan oleh Yayasan Renaissance pada tahun 2016; Sejarah Tangerang Selatan yang diterbitkan oleh Yayasan Renaissance pada tahun 2016; Kampungku Kemayoran yang diterbitkan oleh Yayasan Renaissance pada tahun 2017; Palmera: Fakta kekerabatan Purba Indonesia yang diterbitkan Yayasan Renaissance pada tahun 2017; Langkah Bersejarah Dahlan Abdullah (Wali kota Jakarta 1942-1945 dan Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat 29 Agustus 1945) yang diterbitkan oleh Yayasan Renaissance pada tahun 2018.

Selain karya cetak, juga terdapat beberapa karya yang diterbitkan secara daring dalam versi buku elektronik Betawi oleh Babe Ridwan Saidi. Karya daring tersebut yaitu Rekonstruksi Sejarah Indonesia (2018, ISBN 6027261897): Biografi politikus dan budayawan Ridwan Saidi (2018, ISBN 6025133522); Kronologi Kedatangan Islam di Indonesia (2018, ISBN 6025133514); Jakarta dari Majakatera hingga VOC (2019, ISBN 6025133530); Kerajaan Sunda dan Sunda Kalapa, serta kemandirian Banten (2019, ISBN 6025133549); Flashback Pancasila, tinjauan historis terbentuknya nilai-nilai dasar bernegara sejak era kerajaan VIII M (2019, ISBN 6025133557); dan Kedatangan bangsa Maya hingga Champa dan pengaruhnya di Indonesia (2019, ISBN 602513359X).

Dalam sanad keislaman di Betawi/Genealogi intelektual ulama Betawi, Saya dan Babe Ridwan Saidi bertemu di Mu'allim Radjiun Pekojan. Babe Ridwan Saidi ngaji Tafsir Jalalain ke Mu'allim Radjiun Pekojan, tokoh NU di Betawi; sedangkan saya ngaji kitab hadits tasawuf "Mirats" kepada anaknya, KH Abdurrahim Radjjun bin Mu'allim Radjiun Pekojan.  

Baca juga : Partai Buruh Setuju Diperbolehkannya Sosialisasi Sebelum Masa Kampanye

Karena satu sanad, kami sering ngobrol tentang Islam di Betawi. Walau beliau dianggap sebagai orang yang berpaham Persis karena bapaknya merupakan pengurus, pimpinan Persis di Sawah Besar, dan beliau hidup di lingkungan Persis, tapi saya punya kesan dan pendapat yang berbeda: Babe Ridwan Saidi berpaham Persis-NU.

Karena dalam beberapa tulisan dan ucapan-ucapannya kepada saya, Babe Ridwan Saidi menghormati dan menghargai tradisi Islam di Betawi yang berkultur NU. Dua mingguan sebelum wafat, beliau telepon saya meminta penjelasan saya tentang tradisi ruwahan, maulidan, dan tahlilan. Untuk Babe Ridwan Saidi, Al-Faatihah! 

Baca juga : Indra Karya Sebut Bendungan Ciawi Bakal Jadi Solusi Atasi Banjir Jakarta

*Peneliti Islam di Betawi dan Jakarta, Redaktur Mediaislam.id

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement