Jumat 30 Dec 2022 21:10 WIB

Akhir Tahun Ini Semoga Jadi Awal dari Akhir Pandemi

2023 sepertinya akan menjadi tahun dimulainya era endemi di Indonesia.

Wisatawan menyaksikan penampilan penari yang menampilkan atraksi wisata Tari Kecak Uluwatu di kawasan Uluwatu, Badung, Bali, Rabu (28/12/2022). Pertunjukan dihadiri banyak penonton saat ini dimungkinkan karena tingkat penularan Covid-19 di Indonesia yang sudah rendah. (ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO/Fikri Yusuf
Wisatawan menyaksikan penampilan penari yang menampilkan atraksi wisata Tari Kecak Uluwatu di kawasan Uluwatu, Badung, Bali, Rabu (28/12/2022). Pertunjukan dihadiri banyak penonton saat ini dimungkinkan karena tingkat penularan Covid-19 di Indonesia yang sudah rendah. (ilustrasi)

Oleh : Andri Saubani, redaktur Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, Setelah hampir tiga tahun dunia dihajar pandemi Covid-19, tanda-tanda akan dimulainya era endemi saat ini terusik oleh kondisi yang terjadi di beberapa negara yang kembali dilanda lonjakan kasus positif dan kasus kematian. Kondisi di China contohnya, sampai membuat WHO kembali prihatin meski sebelumnya badan Kesehatan PBB itu optimistis dunia bisa mengakhiri pandemi pada akhir tahun ini.

Lonjakan covid yang terjadi terjadi di China saat ini diyakini dipicu oleh infeksi sub-varian Omicron BF.7. Menurut ahli, BF.7 adalah sub-garis keturunan dari varian Omicron BA.5 yang disebut sebagai 'cicit Omicron' alias varian Corona yang sejauh ini sangat mudah menular.  

Selama pandemi, China menjadi di antara negara-negara di dunia yang memiliki tingkat cakupan vaksinasi tertinggi. Namun, menurut WHO, sikap China yang hanya mau menggunakan vaksinasi produksi dalam negeri tidaklah cukup. Hingga kini, China menolak untuk mengotorisasi vaksin mRNA buatan Barat, yang telah terbukti lebih efektif daripada vaksin buatan lokal.

Sebagai perbandingan, China memiliki cakupan vaksinasi yang lebih tinggi daripada Hong Kong saat Omicron merebak, tetapi lebih banyak orang rentan terhadap infeksi, terutama orang tua di China daripada Hong Kong. Kebanyakan orang di China divaksinasi CoronaVac atau vaksin serupa yang diproduksi oleh SinoPharm.

Belakangan, kasus Covid-19 subvarian BF.7 juga ditemukan di Indonesia. Dan merujuk pada belasan pasien BF.7 yang kini telah sembuh, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin meyakini subvarian BF.7 tidak akan memicu lonjakan kasus covid di Tanah Air.

Menurut Budi, pengalaman selama pandemi setelah adanya vaksin menunjukkan, lonjakan kasus biasanya terjadi bukan karena mobilitas penduduk tetapi lebih diakibatkan kemunculan varian baru Corona. Ia mencontohkan momentum event besar seperti Lebaran, Tahun Baru, hingga acara G20 terbukti tidak memicu tren kenaikan kasus Covid-19.

Dalam beberapa bulan terakhir ini, pandemi Covid-19 di Indonesia pun semakin terkendali. Per 27 Desember 2022 tercatat terdapat 1,7 kasus per satu juta penduduk, positivity rate mingguan sebesar 3,35 persen, tingkat perawatan rumah sakit atau BOR sebesar 4,7 9 persen, dan angka kematian di angka 2,39 persen.

Angka-angka di atas berada di bawah standar WHO. Per 31 Desember 2022, pemerintah menutup Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet Kemayoran Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta.

Atas dasar premis dan fakta-fakta di atas, Indonesia boleh yakin tidak perlu ikut-ikutan seperti China yang kembali mengetatkan pembatasan menyusul kemunculkan BF.7. Beruntung, Indonesia tidak hanya menggunakan satu jenis vaksin seperti China, tapi juga menggencarkan suntikan vaksin berplatform mRNA. Kombinasi ragam vaksin dan sudah banyaknya orang terinfeksi covid, membuat tingginya persentase orang dengan antibodi SARS-CoV-2.

Berdasarkan hasil sero survei terakhir yang dirilis Kemenkes pada Juli 2022, sebanyak 98,5 persen masyarakat di Indonesia telah memiliki antibodi SARS-CoV-2 yang membuat tubuh masyarakat memiliki imunitas terhadap Covid-19. Angka tersebut meningkat jika dibandingkan periode Desember 2021 yakni sebanyak 87,8 persen.

Bahkan, merujuk sero survei terakhir, kadar antibodi SARS-CoV-2 yang dimiliki masyarakat Indonesia itu meningkat lebih dari empat kali lipat. Jika pada Desember 2021 secara rata-rata masyarakat Indonesia memiliki 444,1 unit antibodi SARS-CoV-2 per mililiter (U/ml), dalam waktu satu semester setelahnya atau Juli 2022, secara rata-rata angka tersebut meningkat signifikan menjadi 2097 U/ml atau hampir lima kali lipatnya.

Padahal, dalam kondisi peningkatan kadar antibodi SARS-CoV-2 yang signifikan, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum menerima vaksin booster dibandingkan dengan para penerima vaksin lengkap yang terdiri dua dosis vaksin. Cakupan dosis penguat memang perlu terus digenjot, lantaran per November 2022, cakupannya di Tanah Air baru menyentuh 27,8 persen dari total jumlah penduduk.

Saat ini, pemerintah tengah menunggu hasil sero survei ketiga oleh Kemenkes yang diprediksi hasilnya akan keluar pada pekan ketiga Januari 2023. Semoga hasil sero survei itu nantinya lebih tinggi dari dua survei sebelumnya, sehingga Indonesia boleh percaya diri untuk mengakhiri pandemi dan mencabut segala pembatasan terkait Covid-19. Aamiin.  

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement