REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu badan khusus PBB, UNESCO, pernah melaporkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Pada 2016, Indonesia bahkan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal minat baca dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Central Connecticut State University di Amerika Serikat (AS).
Penelitian bertajuk "Bangsa Paling Melek Huruf di Dunia" ini menempatkan Indonesia di bawah Thailand (posisi ke-59) dan di atas Botswana (posisi ke-61). Sebenarnya, apa yang membuat hal itu terjadi?
Aplikasi seluler ringkasan buku nonfiksi, NexPage, melakukan riset sendiri dan mengaitkannya dengan alasan-alasan berikut ini:
1. Kurangnya aksesibilitas terhadap buku
Walaupun orang-orang di kota memiliki akses ke perpustakaan dan buku-buku, namun hal ini mungkin tidak berlaku untuk kota-kota dan desa-desa yang lebih terpencil. Meskipun beberapa lokasi terpencil memiliki perpustakaan keliling, namun penawaran dan pilihan buku mereka sering kali perlu ditingkatkan.
2. Kurangnya variasi konten dan judul yang menarik
Banyak buku lokal yang mengadopsi nada yang lebih formal dan penyampaian gaya kuliah, membuat membaca menjadi hobi yang sangat serius. Banyak judul nonfiksi juga termasuk dalam kategori "buku teks" sehingga terkesan berat, akademis, dan monoton. Persepsi negatif ini berasal dari minat baca, khususnya judul-judul nonfiksi.
3. Tingginya biaya terjemahan buku-buku asing
Meskipun lebih banyak variasi ditemukan dalam judul-judul asing, hanya beberapa yang nyaman dibaca dalam bahasa Inggris. Buku-buku asing yang diterjemahkan juga mahal dan hanya tersedia untuk kalangan tertentu sehingga kurang diterima secara luas.