Selasa 03 Jan 2023 20:31 WIB

Perppu Cipta Kerja dan Pentingnya Rumusan Kriteria Kegentingan

Perlu rumusan yang tunggal terkait dengan kegentingan dalam UU Cipta Kerja

Ilustrasi tolak UU Cipta Kerja. Perlu rumusan yang tunggal terkait dengan kegentingan dalam UU Cipta Kerja
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi tolak UU Cipta Kerja. Perlu rumusan yang tunggal terkait dengan kegentingan dalam UU Cipta Kerja

Oleh: A Fahrur Rozi, Peneliti di Distrik HTN Institute UIN Jakarta 

REPUBLIKA.CO.ID,  Perbincangan publik kembali dihias dengan isu yang kontroversial. Pasalnya, Pada Jumat (30/12/2022) Presiden Jokowi menerbitkan Perppu 02/2022 yang menegasikan putusan inkontitusional bersayarat Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji formil Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker). 

Baca Juga

Melalui Perppu ini, pemerintah berdalih perlu mengisi kekosongan sekaligus memberikan kepastian hukum terkait peraturan yang masih tertahan dalam mekanisme pengundangan. 

Alhasil, putusan MK yang menunjukkan UU Ciptaker cacat formil karena tidak ada standar baku omnibus law dan nihil partisipasi publik (meaningful participation), dikesampingkan dengan menerbitkan Perppu ini. 

Selain itu, alasan yang diajukan pemerintah juga terkait ‘kegentingan yang memaksa’. Pemerintah melihat ketidakstabilan politik global akibat perang Rusia-Ukraina memerlukan respon yang cepat dan tanggap. 

Dalam situasi seperti ini, pemerintah merasa menjadi aktor tunggal (singel sovereign executive) sehingga dapat dibenarkan untuk menerbitkan Perppu Ciptaker. 

Bangunan yuridis (legal reasoning) yang membawa isu global dalam Perppu ini memang membutuhkan adanya tindakan faktualitas pemerintah (freies ermessen). Bahkan, dalam taraf tertentu dapat dikualifikasikan dalam kondisi mendesak yang mengharuskan diberlakukannya hukum darurat. Misalnya, analisis kuat jatuhnya negara dalam jangka dekat akibat resesi ekonomi mendatang. 

Akibatnya, Presiden memiliki kedaulatan tunggal (single executive) dalam menjalankan ’independent power’ atau ‘inhernt power’ untuk menghasilkan solusi yang konkret sebagai jalan keluar. 

Menurut Carl Schmitt (1888-1985), untuk menghadapi kondisi darurat yang mengancam nasib orang banyak, negara hanya mungkin bertahan dalam demokrasi liberal dan kediktatoran penguasa, bahkan jika perlu menyimpang dari konstitusi kita. 

Begitupun dalam atribusi kewenangannya. Pemerintah berhak menerbitkan Perppu yang menyangkut hal ihwal kegentingan yang memaksa (staatsnoodrecht). Kewenangan ini jelas diatribusikan dalam sejumlah peraturan perundang-undangan.

Baca juga: Nasib Tragis Pendeta Saifuddin Ibrahim Penista Alquran, Jadi Pemulung di Amerika Serikat?

Di antaranya Pasal 22 UUD 1945, Pasal 1 poin 4 UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perundang-Undangan, atau Pasal 1 poin 3 Perpres 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang. 

Konsekuensi logisnya adalah tindakan pemerintah menerbitkan Perppu dapat dibenarkan selama berdasarkan pada pertimbangan genting dan darurat.

Problematika kegentingan

Hal yang menjadi problematik dalam paradigma kenegaraan kita adalah absennya kualifikasi hukum tentang kriteria ‘kondisi yang memaksa’. Tidak ada penjelasan lugas dan eksplesit dalam perundang-undangan terkait kondisi yang memaksa tersebut, baik dalam UUD 1945, UU 12/2011, atau Perpres 87/2014. Faktanya, amanat konstitusi itu masih menjadi ladang interpretasi yang membutuhkan rumusan konkret dalam pelaksanannya. 

Kualifikasi tersebut dibutuhkan agar tetap ada mekanisme kontrol terhadap kewenangan ‘single executive’ tadi. Penjelasan yang dibutuhkan di sini adalah, sejauh mana suatu kondisi ketatanegaraan dapat dikualifikasikan sebagai kegentingan memaksa, kategori tindakan menyimpang yang dibenarkan, dan efektivitas tindakan pemerintah dengan partisipasi publik (representativeness), kualifikasi ini merumuskan adanya prosedur khusus dalam penerbitan suatau Perppu.  

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement