Kamis 12 Jan 2023 11:12 WIB

Proporsional Tertutup, Ancaman Calon Wakil Rakyat

Proporsional tertutup membuat partai memperkuat oligarki politiknya.

Sistem proporsional tertutup tidak hanya merugikan calon anggota legislatif, tetapi juga masyarakat secara umum. Foto ilustrasi pencoblosan saat pemilu.
Foto: ANTARA/Mohammad Ayudha
Sistem proporsional tertutup tidak hanya merugikan calon anggota legislatif, tetapi juga masyarakat secara umum. Foto ilustrasi pencoblosan saat pemilu.

Oleh : M. Nasir Djamil, Anggota Komisi Hukum DPR RI.

REPUBLIKA.CO.ID, Wacana pemilihan umum (Pemilu) Tahun 2024 di riakkan dengan sistem proporsional tertutup, wacana ini di sampaikan pertama kali oleh Ketua Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyri. Hasyim Asyri terburu-buru menyampaikan penegasan wacana proporsional tertutup padahal Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri masih melakukan Judicial Review atau uji materi, terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2019 Tentang Pemilihan Umum. Ketua KPU tanpa pikir Panjang menyampaikan bahwa pemilu 2024 mendatang memungkinkan kembali pada pelaksanaan sistem proporsional tertutup, dengan demikian masyarakat akan mencoblos partai bukan lagi mencoblos calon wakil rakyat (anggota legislatif). Menjadi polemik mengapa baru sekarang pengujian materi ini di ajukan disaat pelaksanaan pemilu tahun 2024 yang tinggal hitungan bulan saja.

Proporsional terbuka dan tertutup sama-sama memiliki kekurangan dan kelebihan. Mengulas balik mengenai proposional dalam sistem pemilu terbagi menjadi dua yaitu, terbuka dan tertutup. Pada sistem proporsional terbuka, pemilih diberikan keleluasaan untuk memilih calon wakil rakyat berdasarkan preferensinya. Seorang calon dengan nomor urut mana saja dapat dinyatakan langsung terpilih apabila suara yang diperolehnya sama atau melebihi. Sisi positif yang menjadi tujuan utama sistem proporsional daftar terbuka adalah memberikan peran mutlak kepada pemilih untuk menentukan sendiri secara langsung calon wakilnya yang akan duduk dilembaga perwakilan.

Sedangkan sistem proporsional tertutup adalah satu macam dari sistem perwakilan berimbang dimana pemilih hanya dapat memilih partai politik secara keseluruhan dan tidak dapat memilih kandidat. Dalam sistem ini, kandidat dipersiapkan langsung oleh partai politik. Menjadi riuh ialah, Ketika proporsional tertutup di gumamkan ke publik, akan menjadi pemangkasan demokrasi bagi setiap calon wakil rakyat yang akan mengikuti kontestasi pemilu legislatif mendatang.

Secara yuridis, jelas sudah rakyat turut andil dalam memilih siapa calon wakilnya yang akan memahami kebutuhan rakyat dan hal itu tercermin dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa: Kedaulatan berada di tangan  rakyat  dan dilaksanakan  menurut  Undang­ Undang Dasar. Artinya rakyat yang lebih tahu dan lebih dekat secara emosional kepada calon wakil rakyatnya seperti apa, rakyat bisa menilai secara langsung ketokohan calon wakil rakyat nya di daerah pilihannya. Sedangkan dalam proporsional tertutup nantinya jika parpol yang memilih calon wakil rakyatnya, tentu menjadi pemangkasan demokrasi bagi rakyat, terutama akan mencedrai Pasal 1 ayat 2 tersebut. Karena partai politik di anggap tidak tahu kebutuhan rakyat yang seperti apa yang rakyat inginkan terhadap calonnya, jikalau partai politik memiliki tendensi untuk mengambi alih pilihan rakyat sebagai calon. Demokrasi kita semakin mundur seperti zaman orde lama maupun orde baru.

Perlu dipahami ialah kriteria sistem Pemilu yang baik adalah sederhana dan mudah dipahami teknis pelaksanaanya. Proporsional terbuka dan tertutup sama-sama baik terhadap pemilu serentak di Indonesia namun yang terpenting adalah transparansi kepada rakyat karna rakyat yang memberi mandat kepada wakilnya yang memiliki kuasa akan mandat yang diberikan rakyat.

Gugagtan yang di ajukan oleh salah seorang kader Nasdem dan PDIP, yang tertuang dalam perkara nomor. 114/PUU-XX/2022 ini mendapat perhatian serius bagi para politisi, pemerhati hukum, pemerhati politik dan seluruh masyarakat Indonesia. Sistim pemilu dengan proporsional terbuka telah diterapkan pada Pemilu 2009, 2014 dan 2019 dan sepertinya menjadi model sistem pemilu yang dapat diterima oleh semua pihak bakal buyar, bilamana MK-RI mengabulkan gugatan yang tidak relevan tersebut.

Gugatan itu adalah upaya memundurkan lagi langkah demokrasi di Indonesia. Merusak demokrasi yang dicita-citakan rakyat Indonesia, dengan penentuan tertutup melahirkan otoritarisme, oligarki. Dengan menggunakan sistem proporsional tertutup, maka kader partai hanya akan melakukan pendekatan ke partai. Bukan kepada masyarakat langsung.

Sebanyak 17 parpol yang lolos sebagai peserta Pemilu 2024 setelah melewati sejumlah tahapan mulai dari tahapan pendaftaran, verifikasi administrasi hingga verifikasi faktual, hanya 8 parpol yang menolak untuk proporsional tertutup serta baru saja disusul penolakan oleh PSI dan 1 partai lagi menyetujui, sisa 6 partai lagi kemana?. Padahal proporsional tertutup ini akan merugikan calon wakil rakyat.

Jika masyarakat hanya mencoblos partai, maka kandidat (anggota parlemen) lebih didorong untuk melakukan pendekatan kepada elite partai ketimbang calon pemilih untuk nomor urut, Masyarakat didorong agar lebih mengenal partai daripada kandidat dan rekam jejaknya, yang memungkinkan partai memperkuat oligarki politik mereka.

Melihat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan anggota partai nya, masyarakat lebih tidak percaya partainya di banding kadernya atau calon wakil rakyatnya, dilansir dari lembaga survei indicator politik bahwa parpol mendapat hasil terendah sekitar Partai Politik 54,2%. Posisi utama di ungguli oleh TNI, hasil survei kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi menurut Indikator Politik; TNI 92,7%, Presiden 85,1%, Mahkamah Agung (MA) 79%, Mahkamah Konstitusi (MK) 78%, Polri 75,2%, Pengadilan 74%, KPK 73,8%, Kejaksaan 73,8%, MPR 67%, DPD 64,7%, DPR 61,2%, dan Partai Politik 54,2%.

 

MK tidak perlu bersusah payah untuk membatalkan Pasal 168 ayat 2 UU Pemilu, karena prinsip-prinsip demokrasi dalam 168 tersebut sudah jelas diatur konstitusi, melalui BAB VIIB PEMILIHAN UMUM adalah: Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. Sudah empat kali pemilu pascareformasi atau sekitar dua puluh tahun Indonesia merdeka, Indonesia telah melaksanakan proporsional terbuka, karena itu adalah harapan rakyat Indonesia Ketika dikekang oleh proporsioanal tertutup masa orde baru. Dalam Pasal 28 D ayat (3) berbunyi  Setiap warga negara  berhak memperoleh  kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Artinya jikalau proporsional terbuka tetap dipaksakan karena hanya kepentingan partai politik ini akan menyebabkan pemangkasan demokrasi terhadap rakyat dan menciderai nilai-nilai kedaulatan rakyat.

Sepirit keterbukaan adalah semangat dari bentuk demokrasi, dengan diterapkannya proporsional tertutup maka calon wakil rakyat akan terancam kemenangannya di pemilu legislative mendatang. Sehingga spirit demokrasi yang diharapkan tetap pada proporsional daftar terbuka dengan menjunjung tinggi demokrasi dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement