REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasar Kue Subuh Senen menjadi perbincangan warganet selama tiga hari terakhir. Sebab, pasar yang menjajakan aneka kue yang berlokasi di Blok 5 Pasar Senen itu dikabarkan akan tutup.
Akun Instagram Senen Jaya menginformasikan, pasar tersebut hanya akan beroperasi hingga 9 Februari 2023. Meski begitu, beberapa warganet memberitahu bahwa Pasar Kue Subuh di Blok 5 tidak tutup permanen, melainkan hanya pindah blok saja.
Hal itu cukup membuat warganet lainnya lega. Tak terbayang jika Pasar Kue Subuh harus tutup selamanya, mengingat pasar tersebut menjadi idola warga DKI Jakarta dan sekitarnya untuk membeli camilan, baik dalam partai besar, menengah, ataupun kecil.
Ratusan jenis jajanan pasar tertata rapi di atas meja para pedagang. Harganya mulai dari Rp 1.000 per potong. Ada rasa gurih maupun manis.
Sejarah Pasar Kue Subuh sendiri kabarnya bermula dari Elkana Tju dan empat rekannya yang mengagas lapak kue di area pinggiran Pasar Senen, sekitar tahun 1988. Kala itu hanya lima meja lapak berjejer yang dipajang sejak pukul 02.00 WIB hingga 08.00 WIB.
Kini, tidak perlu menunggu dini hari untuk membeli kue di sana karena pedagang menjual kue sejak pukul 19.00 WIB hingga pukul 06.00 WIB . Pada sesi pertama yaitu pukul 19.00 WIB hingga 02.00 WIB, biasanya pembelinya adalah grosir atau reseller dari area Jabodetabek. Sementara setelah pukul 02.00 WIB sampai 06.00 WIB, pedagang lebih banyak melayani pembeli menengah dan kecil seperti tukang kue berskala kecil atau dan ibu rumah tangga yang sedang menggelar hajatan di rumah atau kantor.
Pada 2018, salah satu pengurus Pasar Kue Subuh Senen, Hengky Djauhari, mengatakan, setiap malam ada puluhan truk yang menyuplai kue ke pasar seluas 1.769 persegi yang berkapasitas 700 meja lapak ini. Sedikitnya 500 hingga 700 pengunjung datang dengan nilai transaksi antara Rp 600 juta hingga Rp 800 jutaan per malam. "Sebelum kebakaran, pengunjungnya bisa 1.000 orang semalam, transaksi hampir Rp 1 miliar," ujar Shindu kala itu.
Meski telah memberikan kontribusi besar bagi ekonomi warga Jabodetabek, perjalanan bisnis kuliner ini tidak senikmat rasa kuenya. Para pedagang mengalami jatuh bangun karena penyebab beragam. Mulai dari kebakaran, pungutan liar (pungli), hingga bekrurangnya pelanggan akibat munculnya sentra kue subuh baru di beberapa kawasan. Mereka berharap ada pembenahan dari pengelola terkait area parkir, keamanan, dan media promosi yang baik dan masif agar menarik minat pengunjung.
Pasar Kue Subuh menjadi salah satu “jagoan” dari Pasar Senen, salah satu pasar teramai di DKI Jakarta. Namun siapa sangka, pasar yang sebelumnya bernama Jagal Senen ini dulunya bukan pusat perbelanjaan. Almarhum Ridwan Saidi pernah bercerita, dahulu kala, Pasar Senen adalah tempat hiburan berkuda.
“Mulanya Pasar Senen itu disebut Jagal Senen. Jagal itu (artinya-Red) lapangan, Senen itu bukan hari, tapi tempat bermain kuda," kata Ridwan Republika.co.id pada 2019.
Seiring perkembangannya, Pasar Senen kedatangan para pedagang yang menjajakan barang bekas. Dari situ, pacuan kuda berubah fungsi menjadi pasar lowak barang bekas.
Pada akhir abad 18, sebutan Jagal Senen masih sangat populer di masyarakat. Karena itu, namanya sulit dihapuskan dari kawasan Senen, sehingga nama Jagal Senen bertahan di kawasan Masjid Raya Al Arif, Pasar Senen, Jakarta Pusat.
Di zaman Hindia-Belanda, transaksi jual beli semakin diminati masyarakat setelah pusat pemerintahan di Sunda Kelapa, Jakarta Utara, dipindahkan ke Jakarta Pusat pada masa pemerintah Herman Willem Daendels. Apalagi pada saat kawasan segitiga Senen (sebutan orang pada zaman dulu untuk mempermudah menemukan lokasi) mulai dibangun pertokoan pada era Hindia Belanda.
Setelah indonesia merdeka, tepatnya pada masa Ali Sadikin yang di tunjuk sebagai Gubernur Jakarta oleh Presiden Sukarno, Pasar Senen dibangun secara megah empat lantai yang dinamakan Proyek Senen. Senen kemudian berkembang pesat menjadi pusat perbelanjaan.
Seiring berjalannya waktu, di area Senen semakin banyak pertokoan dan mal. Pedagang kuliner juga semakin diminati di Pasar Senen.