Oleh : Ilham Tirta, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Penangkapan Lukas Enembe pada Selasa (10/1/2023), begitu dramatis. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibantu kepolisian harus mengelabui pendukung Gubernur Papua itu untuk membawanya ke Jakarta. Penangkapan itu pun diikuti aksi protes warga di depan Mako Brimob Polda Papua. Sebanyak 18 orang ditangkap dan satu orang meninggal dunia dalam aksi yang ricuh. Sampai saat ini, sejumlah massa masyarakat dan mahasiswa, baik di Papua maupun di Jakarta, masih menggelar aksi protes.
Aksi warga Papua yang justru tidak menghendaki penegakkan hukum terhadap Gubernur-nya yang diduga korupsi, memang sangat kontradiksi. Padahal, korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang menjadi musuh bersama warga negara. Banyak yang mempertanyakan sikap tidak biasa warga Papua itu dengan suara sumbang. Karena itu, mengurai polemik kasus kader Partai Demokrat itu penting dilakukan.
Ramai kasus Lukas dimulai dengan langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 5 September 2022, yang menetapkan Lukas Enembe sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi senilai Rp 1 miliar. Hal itu diikuti pencekalan Lukas ke luar negeri sejak Rabu, 7 September 2022 hingga hingga 7 Maret 2023. Namun, KPK saat itu belum mengumumkan secara resmi status dan perkara yang menjerat Lukas.
Baca juga : KPK: Korupsi Lukas Enembe Bisa Jadi Sampai Rp 1 Triliun
KPK kemudian memanggil Lukas untuk diperiksa di Mako Brimob Kotaraja, Kota Jayapura, Papua pada 12 September 2022. Lukas yang disebut sakit hanya diwakili oleh kuasa hukumnya, Stephanus Roy Rening dan Juru Bicara, Muhammad Rifai Darus. Lewat kedua suruhannya itu, Lukas mengaku tidak pernah menerima sepersen pun uang dari pengusaha selama 10 tahun menjabat Gubernur Papua.
Selain itu, Lukas bersikeras ingin berobat ke Singapura dengan izin pengobatan dari KPK tanpa dikawal. Namun, KPK menolak karena khawatir Lukas akan melarikan diri. KPK malah meminta Lukas kooperatif dan menjamin perawatannya seiring proses hukum berjalan.
Status tersangka gratifikasi dan amplifikasi kasus Lukas memunculkan isu kriminalisasi dan diskriminasi pada kasus tersebut. Massa pendukung Gubernur Papua pun mulai melakukan perlawanan. Mereka yang mengatasnamakan warga Papua mengancam aksi besar-besaran jika kasus Lukas tetap diteruskan.
Ada sejumlah hal yang menyebabkan isu kriminalisasi tersebut semakin menguat. Di antaranya terkait konflik penentuan pengganti wakil gubernur Papua yang meninggal dunia. Diketahui, hingga saat ini Lukas tidak memiliki wakil setelah Klemen Tinal dari partai Golkar tutup usia pada 21 Mei 2021 akibat serangan jantung. Penyebabnya, DPR Papua dan pemerintah belum menyepakati satu nama yang akan menggantikan Tinal. Dalam penentuan itu, Lukas Enembe disebut pernah mendapat ancaman akan dijatuhkan dengan kasus hukum oleh pemerintah pusat.
Baca juga : KPK Periksa Istri dan Anak Lukas Enembe
Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat, Andi Arief mengatakan, ancaman itu datang dari utusan Presiden Joko Widodo. Pengancam disebut meminta Lukas dan Demokrat tak menyetujui jabatan Wakil Gubernur Papua diisi oleh orang dekat Istana, Paulus Waterpauw. Paulus adalah mantan kapolda Papua yang kemudian diangkat sebagai Penjabat Gubernur Papua Barat. Terkait tudingan ini, pemerintah maupun KPK terus membantahnya.
Untuk meredam eskalasi di Papua, KPK pada 14 September 2022 mengumumkan secara resmi kasus yang menjerat Lukas. KPK mengaku memiliki bukti yang cukup terkait penerimaan gratifikasi Rp 1 miliar. Bukan saja terkait kasus Lukas, KPK menyebut ulang kasus yang menjerat Bupati Memberamo Tengah Ricky Ham Pagawak dan Bupati Mimika Omaltinus Omaleng. KPK mengeklaim, kasus ketiga kepala daerah di Papua adalah tindak lanjut dari informasi masyarakat.
Sementara pemerintah, melawan opini kriminalisasi tersebut dengan menyebut kasus Lukas jauh lebih fantastis dari sekadar gratifikasi Rp 1 miliar. Bahwa Lukas, selama ini telah menghianati warga dan pendukungnya sendiri. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD pada Senin, 19 September 2022, mengungkapkan, dugaan korupsi Lukas Enembe mencapai ratusan miliar rupiah.
Perbuatan korupsi itu disebut terkait dana operasional pimpinan, pengelolaan Pekan Olahraga Nasional (PON), dan pencucian uang. Mahfud mengeklaim data itu dari laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kepada KPK. Salah satunya, terkait transaksi setoran tunai Lukas di kasino judi senilai 55 juta dolar (Singapura) atau Rp 560 miliar. Karena itu, Mahfud menegaskan, kasus Lukas bukanlah rekayasa politik yang berkaitan dengan partai politik atau pejabat tertentu. "Tetapi merupakan temuan dan fakta hukum," kata dia.
Pengungkapan angka dugaan korupsi yang fantastis tersebut mengejutkan. Suara dukungan terhadap KPK kembali menguat, bahkan dari sejumlah tokoh di Papua. Narasinya, Lukas Enembe harus bertanggung jawab secara ksatria dengan mengikuti proses hukum.
Baca juga : PSI Bantah KPK Geledah Ruangannya: Hanya Fraksi Golkar
Sejak saat itu, KPK mulai lebih gesit dalam menangani kasus Lukas. KPK berulangkali memanggil Lukas ke Jakarta untuk diperiksa sebagai tersangka. Bahkan, pada 3 November 2023, Ketua KPK Firli Bahuri memimpin tim untuk memeriksa Lukas Enembe di kediamannya di Jayapura.
Pada 5 Januari 2023, KPK mengumumkan penahanan tersangka pemberian gartifikasi kepada Lukas Enembe, Rijantono Lakka. Pengusaha itu diduga memberikan uang Rp 1 miliar agar mendapat tiga proyek senilai Rp 41 miliar selama periode 2019-2021. KPK juga menduga Lukas mendapat gratifikasi lain senilai Rp 10 miliar dari Rijantono. Tidak ada soal kasus Rp 560 miliar, seperti yang diungkap Mahfud, dalam pengumuman KPK tersebut. Hanya berselang lima hari, KPK menangkap Lukas Enembe di restoran SG di dekat Bandara Sentani, Jayapura.
Terlepas kericuhan yang terjadi, penangkapan itu menunjukkan langkah serius KPK dan pemerintah dalam menangani kasus Lukas Enembe. Tarik ulur yang dilakukan KPK juga telah mencegah konflik yang lebih besar di Papua. Namun, penangkapan Lukas akan menjadi tantangan baru bagi KPK dan pemerintah. Dakwaan terhadap Lukas Enembe kelak seharusnya tidak hanya terkait gratifikasi Rp 1 miliar. KPK dituntut mampu membuka lebih terang terkait isu uang judi kasino Rp 560 miliar dan korupsi lain yang gembar-gemborkan Mahfud MD.
Baca juga : Simpulan Perselingkuhan Putri Candrawathi-Brigadir J yang Dinilai Inkonsisten
Bukan saja Lukas, KPK juga harus mampu menjerat siapa pun pihak lain yang terlibat dalam kasus tersebut. Hanya dengan penanganan kasus Lukas secara transparan dan berkeadilan yang akan mampu membenamkan isu krimilisasi dan diskriminasi yang masih melekat pada kasus tersebut.
Tidak berlebihan jika menyebut berbagai kasus jumbo yang disebut Mahfud Md di awal itu sebagai janji dalam penindakan terhadap Lukas Enembe. Karena itu, proses hukum terhadap isu uang kasino itu harus ditepati. Jangan sampai isu Rp 560 miliar itu terkesan sekadar pembenaran untuk menghabisi karier politik Lukas Enembe. Ingatlah, hal itu tidak akan menenangkan warga Papua.