REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia (PDPI) Prof dr Agus Dwi Susanto mengatakan, dampak polusi udara ada dua yakni jangka pendek (langsung dirasakan) dan jangka penjang (setiap hari terhirup lama-lama jadi penyakit). Untuk jangka pendek, biasanya bergantung dari konsentrasi udara yang ada.
Konsentrasi udara dilihat dari Indeks Kualitas Udara (AQI). Ada beragam warna yang mewakili suatu area seperti hijau (aman), kuning (mulai tidak sehat), merah (berbahaya), dan hitam (sangat berbahaya).
Pertanyaannya kemudian, berapa lama dampaknya mulai terasa? Menurut Agus, hal ini bergantung pada berapa besar konsentrasi polusi udara itu. "Kalau masih sedikit, butuh waktu beberapa jam. Namun, kalau sudah hitam beberapa menit saja sudah timbul keluhan,” kata Agus dalam media briefing bertema “Polusi Udara dan Dampaknya pada Kesehatan” digelar secara daring pada Kamis (19/1/2023).
Di antara keluhan tersebut adalah iritasi, batuk-batuk, mata merah, dan hidung berair. Oleh karena itu, penting sekali untuk memantau area polusi yang akan dilewati.
“Kalau masih hijau tidak perlu pakai masker. Tapi kalau sudah kuning atau merah, harus pakai masker,” ujarnya.
Agus menjelaskan, penggunaan masker bisa memfiltrasi particulate matter (PM) karena kalau gas tidak bisa dihambat dengan masker biasa. “Ada beberapa jenis masker yang direkomendasikan, misalnya masker N95 yang memiliki kemampuan filtrasi partikel hingga 95 persen,” kata Ketua Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Menular PB IDI ini.