REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendaran langit malam di atas area yang dihuni atau yang dikenal sebagai skyglow membuat banyak orang sulit melihat bintang di langit malam. Pendaran itu berasal dari cahaya buatan berlebih yang terpancar atau terpantul ke atas, kemudian dihamburkan oleh aerosol dan bulir air atau partikel kecil seperti polutan di atmosfer.
Sebuah studi baru yang diterbitkan dalam jurnal Science mengungkapkan, skyglow yang tertangkap mata manusia lebih menjadi masalah dibandingkan pengukuran satelit terhadap cahaya buatan di Bumi. Temuan itu menjadi tambahan terbaru untuk kumpulan literatur ilmiah tentang polusi cahaya yang berkembang setidaknya sejak setengah abad silam.
Para peneliti menggunakan data crowdsourced dari program Globe at Night, yang dijalankan oleh NOIRLab dan didanai oleh jaringan observatorium National Science Foundation. Tim periset menganalisis lebih dari 50 ribu pengamatan citizen scientist.
Ditemukan peningkatan kecerahan langit sebesar 9,6 persen selama dekade terakhir, dibandingkan dengan hanya dua persen per tahun yang diukur oleh satelit. Para penulis memperkirakan, 80 persen orang di Amerika Serikat dan 30 persen orang di seluruh dunia tidak dapat melihat konstelasi bintang Bimasakti pada malam yang cerah.
"Pada tingkat perubahan ini, seorang anak yang lahir di lokasi di mana 250 bintang terlihat hanya dapat melihat sekitar 100 pada saat mereka berusia 18 tahun," kata penulis utama studi, Christopher Kyba, yang merupakan peneliti di German Research Centre for Geosciences.
Bagian dari permasalahan sulit melihat bintang dengan mata telanjang berkaitan dengan jenis pencahayaan yang digunakan. Menurut Kyba, lampu LED memiliki efek yang kuat pada persepsi tentang kecerahan langit. Itu bisa menjadi salah satu alasan di balik perbedaan antara pengukuran satelit dan kondisi langit yang dilaporkan oleh peserta "Globe at Night".
Satelit juga kesulitan mendeteksi cahaya yang dipancarkan secara horizontal dari sumber yang lebih menonjol di perkotaan seperti papan reklame atau etalase. Tingkat di mana bintang menjadi tidak terlihat oleh orang-orang di lingkungan perkotaan sangat dramatis. Peningkatan skyglow paling banyak terjadi di Amerika Utara, diikuti oleh Eropa.
Selain dampak nyata pada astronomi dan pengamatan langit, penulis studi lain yakni Constance Walker yang mengepalai "Globe at Night" menyoroti konsekuensi lain. Skyglow disebutnya memengaruhi aktivitas hewan diurnal dan nokturnal. Hewan diurnal adalah satwa yang aktif pada siang hari dan tidur pada malam hari. Sementara, hewan nokturnal atau giat malam adalah hewan yang tidur pada siang hari, dan aktif pada malam hari.
"Peningkatan skyglow selama dekade terakhir menggarisbawahi pentingnya melipatgandakan upaya dan mengembangkan strategi baru untuk melindungi langit yang gelap," ujar Walker, dikutip dari laman CNET, Senin (23/1/2023).