Senin 23 Jan 2023 18:39 WIB

Jual-Beli Plasma di Amerika Terpaksa Dilakoni Pekerja Miskin demi Uang

Saat ini, hanya lima negara yang mengizinkan penjualan plasma.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Qommarria Rostanti
Bisnis jual-beli plasma. (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com.
Bisnis jual-beli plasma. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rasa putus beberapa pekerja miskin di Amerika terhadap kehidupan ekonomi, membuat mereka menjual plasma, meskipun itu jauh dari kata "untung". Plasma merupakan komponen protein darah yang encer dan kekuningan.

Pendonor dibayar sekitar 25 dolar AS (Rp 374 ribu) untuk kunjungan pertama, kemudian 5 dolar AS (Rp 75 ribu) untuk beberapa kunjungan berikutnya, hingga 100 dolar AS (Rp 1,5 juta) untuk donasi ke-10. Nominal itu hanya bisa membeli satu tangki bensin atau bahan makanan.

Baca Juga

Satu keluarga pendonor tetap di Idaho menjadwalkan ulang tahun putri mereka yang ke-18 di pusat plasma setempat. Mereka ingin sang putri dapat mulai menjual plasma pada hari pertama, di mana secara hukum dia dapat melakukannya.

Ekstraksi plasma mirip dengan mendonorkan darah. Pendonor duduk di kursi selama sekitar satu jam saat cairan plasma mereka diambil melalui jarum di pembuluh darah. Kebanyakan orang memenuhi syarat, asalkan mereka tidak terlalu tua atau obesitas.

Orang dengan tekanan darah tinggi tidak memenuhi syarat. Begitu juga dengan yang sedang sakit flu atau mengidap penyakit menular seperti hepatitis atau HIV. Tidak ada efek kesehatan negatif akibat dari proses donor plasma tersebut, meskipun setidaknya satu pendonor melaporkan kelelahan tinggi pada hari plasma diambil.

“Kehilangan plasma sepertinya menguras tubuh hampir sampai ke tulang. Jenis lelah yang berbeda,” kata pendonor plasma pria yang menceritakan itu kepada penulis Kathleen McLaughlin untuk bukunya Blood Money: The Story of Life, Death, and Profit Inside America’s Blood Industry.

“Ekstraksi plasma berbayar tidak lain adalah pekerjaan bergaji rendah yang dieksploitasi,” tulis McLaughlin dalam bukunya itu, seperti dikutip dari New York Post, pada akhir pekan lalu.

Dia mengatakan, ilmu pengetahuan telah menggunakan plasma untuk menghasilkan obat yang manjur. Pada 1950-an dan 1960-an, dokter mulai merawat pasien dengan gangguan kekebalan tubuh dengan suntikan sel kekebalan yang berasal dari plasma. Saat ini obat-obatan tersebut membantu operasi jantung, perawatan luka bakar, dan untuk bayi dengan kelainan darah.

Tetapi sejak awal, industri farmasi telah menambang plasma, kebanyakan untuk orang-orang yang tak punya pilihan lain. Pada 1960-an, Arkansas memaksa narapidana di penjara negara bagiannya untuk menyumbang, membayar jumlah yang tidak seberapa sebelum menjualnya kembali ke perusahaan biomedis Little Rock masing-masing seharga 50 dolar AS.

Di provinsi Henan, China, pada 1990-an, seluruh warga desa mendonorkan plasmanya untuk menghasilkan uang dengan mudah. Pemerintah China kala itu gagal menjelaskan bahaya dari mendonor plasma hingga satu juta penduduk berakhir dengan HIV.

Saat ini, hanya lima negara yang mengizinkan penjualan plasma, termasuk Austria, Jerman, Hungaria, dan Republik Ceko, dan Amerika Serikat (AS). AS disebut sebagai produsen terbesar. AS menghasilkan plasma pada 2021 senilai lebih dari 24 miliar dolar AS. Itu merupakan 2,69 persen dari total ekspor negara.

McLaughlin meyakini bahwa orang Amerika menyumbang begitu banyak bukan karena mereka altruistik, tetapi karena negara ini memiliki ketimpangan ekonomi yang lebih besar dibandingkan kebanyakan negara. Dari lebih dari 100 pendonor plasma yang dia wawancarai selama dua tahun, sebagian besar melakukannya untuk penghasilan tambahan.

McLaughlin menemukan, sebagian besar pusat plasma berada di kota-kota yang miskin seperti Flint, Michigan; dan El Paso, Texas. Ketertarikan McLaughlin pada industri darah karena dia mendapat manfaat darinya.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement