Ahad 29 Jan 2023 14:40 WIB

Ambisi Kuasa Para Kepala Desa

Sepanjang 2022 sebanyak 686 kepala desa di Indonesia, terlibat korupsi dana desa.

Red: Joko Sadewo
Sejumlah kepala desa dari berbagai daerah mealakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (17/1/2023). Dalam aksinya mereka menuntut pemerintah dan DPR merevisi aturan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun per periode.
Foto: Republika/Prayogi.
Sejumlah kepala desa dari berbagai daerah mealakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (17/1/2023). Dalam aksinya mereka menuntut pemerintah dan DPR merevisi aturan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun per periode.

Oleh : M. Nasir Djamil, Anggota Komisi Hukum DPR RI dari PKS.

REPUBLIKA.CO.ID -- Gegap gempita dan gelombang unjuk rasa kepala desa di Jakarta telah menyita perhatian publik. Padahal sebelumnya, tidak pernah terdengar ada ambisi kuasa dari pamong desa tersebut. Namun menjelang tahun politik, para kepala desa ingin mendapat perhatian dengan cara menyampaikan keinginan mereka soal masa jabatannya. Ada apa dengan para kepala desa? Mengapa tiba-tiba mereka ingin kuasa diperpanjang hingga sembilan tahun dan dapat dipilih secara tiga periode? Adakah “udang dibalik peyek” dari tuntutan itu? Benarkah ada partai politik tertentu yang memolitisasi isu tersebut? Apakah tuntutan para kepala desa itu bagian dari “posisi tawar” mereka kepada Presiden Jokowi dan partai politik tertentu?.

Desa memang sudah lama tertinggal dan terbelakang. Akhirnya nasib desa mulai terang benderang saat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa disahkan oleh DPR dan Pemerintahan SBY saat itu.  Sejak itu kedudukan kepala desa mulai diperhitungkan. Apalagi undang-undang tersebut juga mengatur soal dana desa untuk pembangunan desa. Jika sebelumnya jabatan kepala desa tidak “seksi” , pasca-UU Desa, perebutan jabatan kepala desa yang dipilih secara langsung tidak pernah sepi dari sang calon. Bahkan tidak sedikit kepala desa menjadi “kaki-tangan” partai politik. Terutama desa-desa yang memiliki  jumlah pemilih yang banyak. Sudah menjadi rahasia umum kalau parpol ikut membiayai calon kepala desa untuk kepentingan parpol di desa itu. Dalam alam demokrasi realitas di atas ya sah-sah saja asal tidak menabrak aturan main yang diatur dalam peraturan perundangan.

Tidak dapat disangkal bahwa “euforia” di level desa itu tidak berkorelasi dengan kapasitas dan kompetensi kepala desa. Bahkan dari sisi usia banyak di antara mereka yang telah berumur 50 hingga 70 tahun. Begitu juga dengan kualitas pendidikan mereka. Ada banyak yang masih tidak bisa baca tulis akibat minimnya tingkat pendidikan yang dienyamnya. Tak heran jika upaya Presiden Jokowi untuk mensejahterakan desa dengan alokasi  anggaran Rp 1 miliar pertahun untuk kemakmuran masyarakat desa berujung menjadi masalah hukum. Dan tidak sedikit juga yang kemudian harus mendekam di penjara. Akibatnya muncullah asumsi, jabatan kepala desa yang 6 tahun untuk satu  periode saja membuat masyarakat desa resah dan pembangunan di desa melalui-salah satunya- melakui Badan Usaha Milik Desa atau Bumdes mengalami stagnasi dan cenderung tidak merata.

Kepimpinan di semua level menghendaki regenerasi. Tidak terkecuali di desa. Permintaan 9 tahun untuk masa kepemimpinan kepala desa dan bisa ikut sampai tiga kali tentu saja menganggu sirkulasi dan regenerasi kepemimpinan di desa. Sebab bisa jadi ada kepala desa yang bisa berkuasa selama tiga periode atau 27 tahun lamanya. Tentu saja ini mirip dengan kekuasaan orde baru. Apapun alasan yang dikemukakan, keinginan di atas akan membuat demokrasi lokal di tingkat desa seperti berada di “leher botol”. Berkuasa terlalu lama bukan hanya tidak sehat, tapi cenderung dan berpotensi terjadinya korupsi dana desa. “Power attend corrupt”, sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Lord Acton, akan semakin banyak terjadi.