Oleh : Hasanul Rizqa, Redaktur Republika.
REPUBLIKA.CO.ID, Provokasi Islamofobia kembali terjadi di Benua Eropa. Baru-baru ini, Swedia menjadi negara tempat munculnya insiden yang mengindikasikan kebencian terhadap Islam. Pada Sabtu (21/1/2023), seorang ekstremis sayap kanan Swedia-Denmark membakar mushaf Alquran di depan Kedutaan Besar Turki di Stockholm.
Rasmus Paludan, pelaku aksi tersebut, ternyata dianggap tidak melanggar aturan hukum setempat. Faktanya, ia justru mendapatkan izin dari pihak penegak hukum sebelum melakukan agitasi itu.
Media sosial menjadikan aksinya viral dalam sekejap. Warga dunia, khususnya kalangan Muslimin, memprotes keras ulah Paludan. Dalam unggahan Twitter, Perdana Menteri Swedia Ulf Kristersson berdalih dengan kata “kebebasan” dan “demokrasi” saat mengomentari tindakan Islamofobia itu.
“Kebebasan berekspresi adalah hal mendasar dalam demokrasi. Namun, apa yang sesuai hukum belum tentu patut. Membakar kitab yang dianggap suci bagi banyak orang adalah tindakan yang sangat kasar. Saya ingin menyatakan simpati kepada semua Muslim yang merasa terhina oleh apa yang terjadi di Stockholm,” tulisnya, Sabtu lalu.
Perbuatan Paludan memicu aksi Islamofobia serupa di negara Eropa lain. Seorang politikus Belanda, Edwin Wagensveld, pada Ahad (22/1/2023) waktu setempat via Twitter mengunggah aksi perobekan Alquran yang dilakukannya di depan gedung parlemen Den Haag.
Swedia Dalam Data
Puluhan akademisi dan aktivis masyarakat madani dari pelbagai dunia bekerja untuk menyusun laporan tahunan yang bertajuk Tinjauan Islamofobia Eropa (European Islamophobia Report/EIR) sejak beberapa tahun terakhir. EIR menyoroti 27 negara di Benua Biru.
Laporan EIR yang teranyar meliputi kondisi Islamofobia di Eropa pada 2021. Hasilnya terangkum dalam buku setebal 664 halaman yang disunting Enes Bayrakli PhD (Kepala Departemen Ilmu Politik dan Hubungan Internasional Universitas Turki-Jerman, Istanbul) dan Farid Hafez (peneliti senior non-residensi pada Georgetown University).
Dalam laporan ini, diketahui bahwa terdapat beberapa indikator yang menunjukkan, kaum Muslimin dan Islam masih dianggap sebagai ancaman bagi masyarakat Swedia, khususnya kelompok-kelompok sayap kanan ekstrem. Bahkan, tekanan juga datang dari para pejabat di pemerintahan.
Salah satu indikator utama dalam hal ini adalah, meningkatnya kebijakan negara yang menyasar organisasi-organisasi masyarakat sipil Muslim di Swedia. Indikator lainnya yang menunjukkan peningkatan tendensi Islamofobia adalah melonjaknya jumlah serangan verbal terhadap orang Islam di ruang-ruang publik setempat.
Sebuah survey nasional, yang dipublikasikan pada 2022, menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga responden warga Swedia dewasa meyakini, Islam dan Muslimin adalah ancaman bagi “peradaban Barat.”
Serangan terhadap tempat-tempat ibadah Muslim dan ancaman Islamofobia semakin sering terjadi di Swedia dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya, enam dari 10 masjid di negara kerajaan ini telah menjadi target serangan fisik. Lebih dari dua pertiga dari seluruh masjid pernah menerima ancaman.
Sebagai contoh, pada 29 Januari 2021 sebuah benda mirip bom—yang akhirnya diketahui sebagai palsu—diletakkan di pintu masuk utama masjid terbesar di Stockholm. Salah satu imam masjid, Mahmoud Khalfi, mengatakan kepada media setempat, surat ancaman dan grafiti rasis yang diguratkan pada tembok masjid ini adalah hal yang “sangat sering dijumpai.” Tujuannya jelas untuk mengintimidasi komunitas Muslim.
Dalam survei yang dijawab oleh 106 perwakilan masjid Swedia, sebanyak 90 persen responden menganggap ada ancaman bagi umat Islam secara umum. Sebanyak 81 persen percaya ada ancaman yang secara khusus menyasar masjid.
Nama Paludan pun dijumpai dalam laporan ini. Tercatat, politikus ini aktif dalam serangkaian aksi pembakaran Alquran atau buku-buku keislaman selama bulan suci Ramadhan silam (April 2022). Di Denmark, Paludan pernah dua kali dihukum dengan dakwaan ujaran kebencian. Yang mengejutkan, di Swedia dirinya justru diberi izin oleh polisi untuk mengadakan aksi-aksi anti-Muslim di beberapa kota. Dalam pelbagai kesempatan, secara terbuka ia membakar salinan Alquran dan berbicara tentang perlunya “mengusir” orang Islam.
Melalui pelbagai media, aksi-aksi pembakaran Alquran mendapatkan sorotan, tetapi yang sering kali menjadi fokus adalah persoalan “kebebasan mengutarakan pendapat” atau “menjaga wibawa hukum”, alih-alih aspek Islamofobia dari serangkaian perbuatan tersebut. Para politikus (yang ekstrem) pun berperan besar dalam menyulut nyala Islamofobia di Swedia. Retorika anti-Muslim acap kali disampaikan sebagian mereka, termasuk ketika seorang pemimpin Partai Kristen Demokratik (Christian Democratic Party) menyeru kepada polisi agar “menembak lebih banyak Islamis.”
Dalam undang-undang hukum Swedia, diskriminasi didefinisikan dalam Undang-Undang Tentang Diskriminasi Tahun 2008 dan itu diamandemen pada 2014. Beleid ini bertujuan mencegah diskriminasi dan mendorong adanya persamaan hak dan kesempatan yang sama bagi warga negara “terlepas dari jenis kelamin, identitas transgender, asal etnis, agama atau kepercayaan lainnya, disabilitas, orientasi seksual, ataupun usia.”
Sayangnya, aturan hukum ini hanya berkaitan dengan soal diskriminasi terhadap individu, bukan kelompok atau organisasi. Karena itu, organisasi masyarakat sipil Muslim tidak dianggap sebagai pihak yang sah dalam kasus-kasus mengenai diskriminasi oleh individu atau pihak berwenang. Inilah yang membuat laporan statistik tentang Islamofobia terkesan melandai.
Laporan ini menyimpulkan, aturan perundang-undangan mengenai anti-diskriminasi di Swedia terbilang kuat dan bahkan disebut bertujuan melindungi kebebasan beragama individu. Namun, wacana Islamofobia dan sikap publik yang negatif terhadap Islam dan Muslim telah memasuki arus utama politik. Bahkan, tendensi yang sangat tidak toleran itu dinormalisasi di tengah masyarakat Swedia maupun kalangan pembuat kebijakan (policy makers).
Bandingkan dengan “semangat” membendung anti-Yahudi (anti-Semitism). Swedia semestinya menerapkan hal yang sama ketika mengatasi Islamofobia.