REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah dinamika pasca dirilisnya 108 lembaga zakat tidak berizin oleh Kementerian Agama (Kemenag), Akademizi-Inisiatif Zakat Indonesia berkolaborasi dengan Forum Zakat (FOZ) menggelar webinar Forum Literasi Zakat Perizinan Pengelolaan Zakat dari Aspek Sosiologis - Historis, Legal dan Profesional.
Direktur Akademizi, Nana Sudiana, mengatakan, LAZ lahir dan tumbuh di tengah masyarakat atas dasar kerelawanan. Amil-amil di dalamnya bekerja untuk membantu kehidupan para mustahik. Maka hal-hal yang berkaitan dengan perizinan ini bisa menemukan solusinya, dapat dipelajari dari berbagai aspek sehingga dapat fokus melakukan agenda yang kontributif dan memberdayakan.
"Beri kesempatan dan dorong lembaga dengan pendampingan, pengawasan, serta aturan sama yang bisa meningkatkan lembaga jauh lebih baik. Kita berharap, Indonesia, sebagai salah satu negara dengan Muslim terbanyak, bisa menjadi laboratorium pengelolaan zakat terbaik, keluar dari krisis dan jadi guru bagi dunia,” kata Nana melalui pesan tertulis yang diterima Republika, Ahad (29/1/2023).
Ketua Umum FOZ, Bambang Suherman dalam paparannya menyampaikan, dalam 108 lembaga yang dirilis Kemenag ternyata hanya 51 persen lembaga yang belum memiliki izin. Sedangkan sisanya 17 persen sudah berizin, 19 persen sedang proses izin, 6 persen UPZ, dan 7 persen pendampingan izin oleh lembaga (MPZ).
"Kita perlu juga memperkuat fungsi literasi dan aspek kesadaran publik terhadap regulasi. Kami berharap, ada rilis terbaru dari Kemenag dengan data valid. Forum Zakat juga berkomitmen membantu pemerintah untuk melakukan pendampingan bagi 51 persen lembaga agar bisa sesuai dengan regulasi dan perizinan pemerintah," jelas Bambang.
Ahli Hukum dari Universitas Indonesia, Heru Susetyo, mengatakan, UU Nomor 23 Tahun 2011 bermasalah, karena saat ini lembaga pengelolaan zakat harus mendapat rekomendasi Baznas dan izin dari Kemenag. Sedangkan Baznas merupakan operator zakat juga, dan harus merekomendasikan operator lain. Hal ini dikhawatirkan terjadi konflik kepentingan.
"Seharusnya sebelum dirilis 108 lembaga zakat yang tidak berizin kepada media, lakukan tabayun kepada lembaga-lembaga tersebut dan verifikasi data dahulu. Karena, hal ini bisa menimbulkan konsekuensi hukum, budaya, dan administrasi. Rekomendasinya, izin harus dari Kemenag, agar tidak terjadi konflik kepentingan. Kalau ada revisi UU, jangan dikritik dahulu, itu sebagai proses untuk mencapai kebaikan di negara ini," jelas Heru.
Di webinar yang sama, Deputi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kemenko PMK, Prof Warsito mengapresiasi peran seluruh stakeholder dalam menangani kemiskinan ekstrem.
"Kita sudah melewati pandemi Covid-19 yang mana ini menjadi best practice kontribusi masyarakat terhadap baik negara maupun sesama, Kemenko PMK senantiasa mendorong bertemunya semua stakeholder untuk menguatkan kontribusi masyarakat,” kata Warsito.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kemenag, Tarmizi Tohor mengatakan bahwa zakat berkaitan dengan orang banyak, bukan dana pribadi di masyarakat. Itulah kenapa harus ada negara yang ikut mengatur.
"Zakat harus dikelola secara melembaga sesuai syariat Islam serta diangkat oleh pemerintah sesuai dengan UU 23 Tahun 2011 dan Fatwa MUI Nomor 8 Tahun 2011. Sehingga tercipta pengelolaan zakat yang aman syariah, aman regulasi, dan aman NKRI," kata Tarmizi.